Blogger September 2014 - suryahandayana
YAKIN & BERMANFAAT

Monday 1 September 2014

Potensi vs impotensi

Bisakah Anda jelaskan apa yang jadi impian Anda lima tahun mendatang? Inikah jawaban Anda, “Pokoknya bagaimana nantilah, yang penting kita lakukan saja apa yang ada di depan kita saat ini.” Jika ya, artinya Anda orang tipe bagaimana nanti bukan nanti bagaimana. Lho, apa bedanya? Perbedaannya tipis sekali. Yang pertama menyiratkan makna bahwa seolah-olah perencanaan hidup sukses tidak sepenting dibanding pencapaian sukses itu sendiri. Sedangkan yang kedua mengatakan, merencanakan hidup sukses merupakan sebagian jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sukses hidup.

Dan, setiap orang punya potensi yang sama untuk sukses. Anehnya, mengapa ada yang berhasil dan yang lain gagal? Jawabannya ternyata sederhana: orang itu gagal karena potensinya masih tersembunyi atau belum muncul ke permukaan. Bisa juga karena belum memfungsikannya secara optimal. Jadi, sumber kegagalan orang itu adalah impotensi. Pemberian rangsangan adalah cara jitu agar yang bersangkutan dapat berpikir dan bertindak lebih powerful. Alangkah indahnya kita hidup dan tinggal di lingkungan orang-orang berpikir positif dan berjiwa besar penuh vitalitas. Akan selalu ada orang yang memberikan ‘stroom’ untuk bangkit di saat problematika, dilematika, dan romantika kehidupan datang bertubi-tubi. Lalu, stimulasi macam apa yang dapat mengubah impotensi menjadi potensi sehingga mampu memompa semangat kita yang sedang 3L (lesu, letih, lemah). Stimulasi itu adalah internal motivation, yaitu kemauan dan keberanian serta konsistensi untuk membangunkan potensi kita yang sedang tidur..
Hal pertama yang perlu dilakukan ialah harus mau dan berani untuk menantang diri sendiri dan selalu siap menangkap tantangan yang ada di hadapan kita. Umumnya hambatan yang paling kuat dalam menghadapi tantangan adalah cap buruk terhadap diri sendiri yang merasa tidak mampu melakukan hal-hal besar dan cenderung menjadi orang biasa-biasa saja. Selanjutnya, ciptakan kompetisi untuk membangkitkan potensi diri kita. Dalam diri kita selalu ada pertarungan 2 kubu, yaitu kubu idealisme dan kubu realisme, kubu optimisme dan kubu pesimisme, atau kubu harapan dan kubu kekhawatiran. Kita tidak bisa melihat kubu itu sebagai lawan atau kawan atau mendikotomi keduanya karena keduanya bersifat saling mengisi.
Seorang karyawan bisa saja menjadi penuh dedikasi ketika ia mendapat kabar akan dipensiunkan. Tentu saja pembaca yang budiman, saya tidak bermaksud mengatakan pada Anda bahwa kita akan menjadi lebih baik lantaran menantikan kehadiran sebuah bencana lebih dulu, namun bagaimana kita berimajinasi seolah-olah bencana sudah ada di depan mata kita. Para ahli agama mengatakan, ”Berbuatlah kalian untuk duniamu seolah-olah hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah mati besok”. Manajemen ‘seolah-olah’ agaknya menjadi hal terakhir yang dapat membangkitkan impotensi kita.
http://beranda.blogsome.com/

Potret remaja dalam data

Kayaknya kita semua udah pada tahu deh, Fase usia remaja tuh merupakan masa dimana manusia sedang mengalami perkem¬bangan yang begitu pesat, baik secara fisik, psikologis dan sosial. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksinya. Secara sosial perkembangan ini ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan dengan orang tuanya, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar dengan jalan inter¬aksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan sebaya maupun masyarakat luas. Pada masa ini pula, ketertarikan dengan lawan jenis juga mulai muncul dan berkembang. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian dimunculin dalam bentuk (misalnya) berpacaran di antara mereka. Berpacaran berarti upaya untuk mencari seorang teman dekat dan di dalamnya terdapat hubungan belajar mengkomunikasikan kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan proses pendewasaan kepribadian. Kemudian berpacaran biasa¬nya dimulai dengan membuat janji, dating lalu bikin komitment tertentu dan apabila di antara remaja ada kecocokan maka akan dilanjutkan dengan berpacaran. Pacaran? Bosen ah! …..Eit! jangan salah. Pacaran sih emang sudah sering dibahas. Tapi diskusi kita kali ini lebih oke, karena kita bakal ngelihat data yang berupa angka perilaku remaja kita kalo pacaran. Asik khan? Makanya baca terus….

Pacaran remaja enggak selamanya merupakan sebuah cerita yang bersifat manis dan dapat dinikmati oleh kedua belah pihak. Banyak persoalan yang kemudian muncul di antara mereka dalam menjalani dan menapaki perjalanan kisah-kasih asmara. Berdasarkan laporan yang berhasil dikumpulkan dari rekap Konseling Sahaja-PKBI DIY pada tahun 1998 hingga 1999 tampak bahwa hampir separo (48 persen) dari 1.514 klien yang melakukan konsultasi mengalami permasalahan seputar pacaran. Persoalan-persoalan yang muncul di luar perilaku seksual dalam pacaran antara lain komunikasi (40 persen), taksir menaksir (25 persen), perselingkuhan (11 persen) serta permasalahan patah hati, kekerasan, persiapan pernikahan, beda agama, konflik dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. (lihat tabel).
Masalah pacaran remaja
1. Masalah prosentase (%)
2. taksir menaksir 25
3. ditolak atau menolak 4
4. patah hati 5
5. komunikasi 30
6. kekerasan fisik 1
7. kekrasan psikologis atau verbal 2
8. persiapan pernikkahan 2
9. belum punya pacar 2
10. beda agama 2
11. konflik dengan pihak ketiga 7
12. pacaran jarak jauh 2
13. gonta-ganti pacar 1
14. perselingkuhan 4
15. lain-lain 11
sumber: karakteristik klien youth center PKBI DIY (Januari-Juli 1999)

Seringkali, karena minimnya informasi yang benar mengenai pacaran yang sehat, maka terkadang tidak sedikit remaja saat berpacaran unsur nafsu seksual menjadi unsur dominan. Jenis perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja dalam berpacaran biasanya bertahap mulai dari timbulnya perasaan saling tertarik yang kemudian akan diikuti oleh kencan, bercumbu dan akhirnya melakukan hubungan seksual. Hasil Baseline Survai Lentera-Sahaja PKBI Yogyakarta memperlihatkan bahwa perilaku seksual remaja mencakup kegiatan mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking, petting, hubungan seksual, sampai dengan hubungan seksual dengan banyak orang. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas. Penelitian Sahabat Remaja tentang perilaku seksual di empat kota menunjukkan bahwa 3,6 persen remaja di kota Medan; 8,5 persen remaja di kota Yogyakarta dan 3,4 persen remaja di kota Surabaya serta 31,1 persen remaja di kota Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif. Penelitian yang pernah dilak¬ukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan UGM menemukan bahwa 33,5 responden laki-laki di kota Bali pernah berhubungan seks, sedangkan di desa Bali sebanyak 23,6 persen laki-laki. Di Yogyakarta kota sebanyak 15,5 persen sedangkan di desa sebanyak 0,5 persen. Di samping itu, perkembangan jaman juga akan mempengaruhi perilaku seksual dalam berpacaran para remaja. Hal ini misalnya dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun yang lalu seperti berciuman dan bercumbu sekarang dibenarkan oleh remaja saat ini. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free sex. Perubahan terhadap nilai ini misalnya terjadi dengan pandangan remaja terhadap hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun yang lalu hanya 1,2 - 9,6 persen setuju dengan hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh tahun kemudian angka tersebut naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini naik menjadi 17 persen yang setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen yang setuju dengan free sex.
Sementara itu kasus-kasus kehamilan yang tidak dikehendaki sebagai akibat dari perilaku seksual di kalangan remaja juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun sulit untuk diketahui secara pasti di Indonesia angka kehamilan sebelum menikah, tetapi dari berbagai penelitian tentang perilaku seksual remaja menya¬takan tentang besarnya angka kehamilan remaja. Catatan konseling Sahaja menunjukkan bahwa kasus kehamilan tidak dikehendaki yang tercatat pada tahun 1998/1999 tercatat sebesar 113 kasus. Beberapa hal menarik berkaitan dengan catatan tersebut misalnya, hubungan seks pertama kali biasanya dilakukan dengan pacar (71 %), teman biasa (3,5%), suami (3,5%); inisiatif hubungan seks dengan pasangan (39,8%), klien (9,7%), keduanya (11,5%); keputusan melakukan hubungan seks: tidak direncanakan (45%), direncanakan (20,4%) dan tempat yang biasa digunakan untuk melakukan hubungan seks adalah rumah (25,7%) hotel (13,3%). Konsekuensi dari kehamilan remaja ini adalah pernikahan remaja dan pengguguran kandungan. Hasil penelitian PKBI beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bali dan Manado angka kehamilan sebelum nikah pada remaja dan yang mencari pertolongan untuk digugurkan meningkat dari tahun ke tahun. Sebuah perkiraan yang dibuat oleh sebuah harian menunjukkan bahwa setiap tahun satu juta perempuan Indonesia melaku¬kan pengguguran dan 50 persen berstatus belum menikah serta 10-15 persen diantaranya remaja. Upaya pendampingan dari orang tua dan lembaga yang peduli kepada remaja adalah sebuah hal yang musti dilakukan, dan tentu aja pendampingan yang bersahabat, berpihak dan tahu akan kebutuhan remaja. Dan tentu saja, lagi lagi ujungnya adalah pentingnya pendidikan seksual bagi kita semua para remaja, agar kita ngerti bener diri dan tubuh kita, resiko resiko perilaku seksual kita, serta bagaimana memilih perilaku yang sehat dan bertanggung jawab.

(Pusat Studi Seksualitas-PKBI Yogyakarta, dari berbagai sumber dan news letter “Embrio” PKBI DIY)

Remaja, Pornografi dan Pendidikan Seks

Situasi maraknya pornografi sebagai media yang menyesatkan hingga berimplikasi terhadap dekadensi moral, kriminalitas dan kekerasan seks yang dilakukan oleh remaja, sesunguhnya bukan sebuah kasus baru yang mengisi lembaran surat kabar ataupun media elektronik. Kasus-kasus kekerasan seksual, Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) pada remaja dan sejenisnya, nampaknya masih belum banyak diangkat ke permukaan, sehingga “seolah-olah” problem ini dianggap “kasuistik” yang tidak penting untuk dikaji lebih jauh. Padahal timbulnya kasus-kasus seputar KTD remaja, kekerasan seksual, Penyakit Menular Seksual pada remaja bahkan sampai aborsi tidak lepas dari (salah satunya) minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja.

Pendidikan Seks sama dengan Pornografi ?
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja sebagai salah satu upaya untuk “mengerem” kasus-kasus di atas, sampai saat ini masih saja diperdebatkan (bahkan banyak yang enggak setuju), Sementara pornografi tiap saat ditemui remaja. Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja haus akan informasi mengenai persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Penelitian Djaelani yang dikutip Saifuddin (1999:6), menyatakan bahwa 94 % remaja menyatakan butuh nasihat mengenai seks dan kesehatan reproduksi. Namun repotnya sebagian besar dari remaja justru tidak dapat mengakses sumber informasi yang tepat. Jika mereka kesulitan untuk mendapatkan informasi melalui jalur formal, terutama dari lingkungan sekolah dan petugas kesehatan, maka kecenderungan yang muncul adalah coba-coba sendiri mencari sumber informal. Sebagaimana dipaparkan Elizabeth B. Hurlock (1994:226), informasi mereka coba penuhi dengan cara membahas bersama teman-teman, buku-buku tentang seks atau mengadakan percobaan dengan jalan mastrubasi, bercumbu atau berhubungan seksual. Kebanyakan masih ada anggapan bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi dinilai masih tabu untuk dibicarakan dengan remaja. Ada kekhawatiran (asumsi) untuk membicarakan persoalan seksualitas kepada remaja, sama halnya memancing remaja untuk melakukan tindakan coba-coba. Sebenarnya masalah seksualitas remaja adalah problem yang tidak henti-hentinya untuk diperdebatkan, ada dua pendapat tentang perlu tidaknya remaja mendapatkan informasi seksualitas. Argumen pertama memandang bila remaja mendapat informasi tentang seks, khususnya masalah pelayanan kesehatan reproduksi justru akan mendorong remaja melakukan aktivitas seksual dan promiskuitas lebih dini. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa remaja membutuhkan informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan implikasi pada perilaku seksual dalam rangka menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran terhadap kesehatannya.
Remaja sendiri merupakan kelompok umur yang sedang mengalami perkembangan. Banyak diantara remaja berada dalam kebingungan memikirkan keadaan dirinya. Sayangnya, untuk mengetahui persoalan seksualitas masih terdapat tembok penghalang. Padahal mestinya jauh lebih baik memberikan informasi yang tepat pada mereka, daripada membiarkan mereka mencari tahu dengan caranya sendiri. Pendidikan seksualitas masih dianggap sebagai bentuk pornografi, padahal dalam gambaran penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Seksualitas PKBI-DIY di wilayah Yogyakarta pada pertengahan tahun 2000 terhadap persepsi remaja dan guru (mewakili orang tua), anggapan tersebut tidak sepenuhnya terbukti.
Tabel Pendidikan Seks sama dengan Pornografi
Responden Jawaban YA Jawaban TIDAK
Guru 14,29 % 85,71 %
Siswa 0,00 % 100 %
Selama ini pendidikan seks dipersepsikan sebagai sebuah hal yang sifatnya pornografi yang tidak boleh dibicarakan apalagi oleh remaja. Dari hasil kuesioner menggambarkan hanya sekitar 14,29 % (responden guru) yang menyatakan bahwa pendidikan seks sama dengan pornografi. Dari remaja sendiri anggapan tentang pendidikan seks sama dengan pornografi tidak terbukti (0 %).

Remaja dan Pendidikan seksualitas ?
Masih teramat sedikit pihak yang mengerti dan memahami betapa pentingnya pendidikan seksualitas bagi remaja. Faktor kuat yang membuat pendidikan seksualitas sulit diimplementasikan secara formal adalah persoalan budaya dan agama. Selain itu faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah kentalnya budaya patriarki yang mengakar di masyarakat. Seksualitas masih dianggap sebagai isu perempuan belaka. Pornografi merupakan hal yang ramai dibicarakan karena berdampak negatif, dan salah satu upaya membentengi remaja dari pengetahuan seks yang menyesatkan adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas yang benar. WHO menyebutkan bahwa ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari pendidikan seksualitas; Pertama adalah mengurangi jumlah remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kedua adalah bagi remaja yang sudah melakukan hubungan seksual, mereka akan melindungi dirinya dari penularan Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS. Mengingat rasa ingin tahu remaja yang begitu besar, pendidikan seksualitas yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri. Maka pendidikan seksualitas harus mempertimbangkan, pertama pendidikan seksualitas harus didasarkan penghormatan hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai pilihan, kedua berdasarkan pada kesetaraan jender, ketiga partisipasi remaja secara penuh dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan seksualitas, keempat bukan cuman dilakukan secara formal tetapi juga non formal.