Blogger November 2010 - suryahandayana
YAKIN & BERMANFAAT

Wednesday 17 November 2010

Strategi Pembelajaran

Dalam mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (1) Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (inquiry).

Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran tersebut.
A. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Dengan mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu :

- Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
- Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)

- Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.

- Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
- Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.

B. Bermain Peran (Role Playing)

Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian

Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah.

Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan tahapan pembelajaran bermain peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4) menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; ( pemeranan ulang; dan (9) diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.

C. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning
Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning) merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
- Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
- Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
- Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
- Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
- Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
- Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
- Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.

D. Belajar Tuntas (Mastery Learning)

Belajar tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta didik mampu belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses belajar melangkah pada tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah para peserta didik menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan dasar untuk memperoleh balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah memperoleh informasi tentang pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh peserta didik. Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar secara maksimal (belajar tuntas).

Strategi belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran remedial (pengajaran korektif).

Strategi belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1) mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar; dan (3c) implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang meliputi : (1) corrective technique yaitu semacam pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan metode yang berbeda dari sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).

Di samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware maupun software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan proses belajar.

E. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)

Modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru.

Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan, dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus dilakukan atau dipelajari.

Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa komponen, diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja; (3) kunci lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci jawaban.

Komponen-komponen tersebut dikemas dalam format modul, sebagai beriku:
Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.

Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan.

Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.

Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.

Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul
Tugas utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan dan mengatur proses belajar, antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran yang kondusif; (2) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami isi modul atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap peserta didik.

F. Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,

Proses inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan hipotesis.
Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan

Menerapkan kesimpulan dan generalisasi

Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.
Untuk memahami lebih lanjut tentang model-model pembelajaran ini, Anda dapat mengakses tautan di bawah ini.

Sumber :
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi.
Bandung :P.T. Remaja Rosdakarya._________. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar Jakarta :.

Friday 12 November 2010

Pengaruh Lingkungan Belajar

Lingkungan mempengaruhi kemampuan Anda dalam berkonsentrasi untuk belajar. Anda akan dapat memaksimalkan kemampuan konsentrasi Anda, jika Anda mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap konsentrasi. Jika Anda dapat memaksimalkan konsentrasi, Anda mampu menggunakan kemampuan Anda pada saat dan suasana yang tepat. Dengan demikian Anda dapat menghemat energi. Coba bayangkan jika Anda termasuk orang yang suka belajar di tempat yang sepi dan tenang, sementara teman Anda mengajak belajar di rumahnya sambil memasang musik dengan keras. Mampukah Anda berkonsentrasi dengan maksimal?
Faktor lingkungan yang mempengaruhi konsentrasi belajar adalah suara, pencahayaan, temperatur, dan desain belajar.
a. Suara
Tiap orang mempunyai reaksi yang berbeda terhadap suara. Ada yang menyukai belajar sambil mendengarkan musik keras, musik lembut, ataupun nonton TV. Ada juga yang suka belajar di tempat yang ramai, bersama teman. Tapi ada juga yang tidak dapat berkonsentrasi kalau banyak orang di sekitarnya. Bahkan bagi orang tertentu, musik atau suara apapun akan mengganggu konsentrasi belajar mereka. Mereka memilih belajar tanpa musik atau di tempat yang mereka anggap tenang tanpa suara. Namun, beberapa orang tertentu tidak merasa terganggu baik ada suara ataupun tidak. Mereka tetap dapat berkonsentrasi belajar dalam keadaan apapun.
b. Pencahayaan
Pencahayaan merupakan faktor yang pengaruhnya kurang begitu dirasakan dibandingkan pengaruh suara. Mungkin karena relatif mudah mengatur pencahayaan sesuai dengan yang Anda butuhkan.
c. Temperatur
Pengaruh temperatur terhadap konsentrasi belajar pada umumnya juga tidak terlalu dipermasalahkan orang. Namun, Anda perlu mengetahui bahwa reaksi tiap orang terhadap temperatur berbeda. Ada yang memilih belajar di tempat dingin, atau sejuk; sedangkan orang yang lain memilih tempat yang hangat.
d. Desain Belajar
Jika Anda sedang membaca, menulis, atau meringkas modul yang membutuhkan konsentrasi, coba perhatikan, apakah Anda merasa lebih nyaman untuk melakukannya sambil duduk santai di kursi, sofa, tempat tidur, tikar, karpet atau duduk santai di lantai? Jika salah satu cara tersebut merupakan cara yang membuat Anda lebih mudah berkonsentrasi untuk belajar, maka mungkin Anda termasuk orang yang membutuhkan desain informal atau cara belajar tidak formal yang santai.
Jika Anda termasuk tipe yang membutuhkan desain formal, maka mungkin Anda lebih mudah berkonsentrasi jika belajar dengan kursi dan meja belajar. Lengkapi tempat belajar Anda dengan kalimat-kalimat positif, foto, gambar, atau jadwal belajar yang dapat meningkatkan semangat belajar Anda. Yang penting, sesuaikan dengan tipe Anda, baik tipe informal maupun tipe formal.

Kecerdasan Emosional dalam Pacaran, Perlukah?

EI (emotional intelligence) atau kecerdasan emosional, akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat kita dan sering diperbincangkan. Apa sih kecerdasan emosional itu? Dan mengapa ia menjadi lebih penting dari pada IQ (Intelligence Quotient) atau sering hanya disebut dengan intelegensi (kecerdasan). Lalu apa kaitannya antara kecerdasan emosional dengan masalah pacaran?
Sering kita mendengar bahwa IQ atau kecerdasan menjadi patokan cerdas tidaknya seseorang. IQ juga menjadi syarat untuk memasuki dunia sekolah ataupun pekerjaan, tentu saja dengan jumlah IQ di atas rata-rata. Kata intelegensi berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain, sedangkan pengertian intelegensi memberikan bermacam-macam arti.
Ada yang mendefisinikan intelegensi sebagai daya atau kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir (otak) yang dimilikinya. Di sini dapat kita lihat bahwa kecerdasan erat kaitannya dengan masalah penyesuaian diri terhadap masalah yang dihadapinya. Orang yang memiliki intelegensi tinggi akan lebih cepat dan lebih tepat di dalam menghadapi masalah-masalah baru bila dibandingkan dengan orang yang kecerdasannya kurang. Intelegensi seseorang dapat diungkapkan dengan sebuah alat yang disebut dengan tes intelegensi (tes IQ). Seorang ahli psikologi menggolongkan IQ sebagai berikut: kecerdasan rata-rata dengan angka IQ 90-109; di atas rata-rata dengan angka IQ 110-119; cerdas dengan angka IQ 120-129; dan IQ di atas 130 untuk kategori jenius (cerdas sekali).
Kecerdasan Emosional
Lalu apakah orang dengan IQ yang rendah atau rata-rata tidak akan seberhasil orang dengan IQ yang tinggi? Pemikiran inilah yang kemudian memunculkan pentingnya kecerdasan emosi untuk menandingi kecerdasan. Inilah tantangan bagi mereka yang menganut pandangan sempit tentang kecerdasan, dengan mengatakan bahwa IQ merupakan masalah keturunan atau bawaan (genetik) yang tidak bisa diubah lagi, sekalipun oleh pengalaman hidup seseorang.
Lalu bagaimana dengan adanya kenyataan bahwa orang yang ber-IQ tinggi pun bisa gagal sedangkan orang yang ber-IQ rata-rata menjadi sangat sukses dalam hidupnya. Apakah yang menyebabkan itu semua? Di sinilah kecerdasan emosional memegang peranan penting, di mana ia mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan-keterampilan seperti ini dapat diajarkan kepada anak-anak semenjak dini, untuk memberi mereka peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi yang ada dalam diri mereka.
Apakah emosi itu? Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu atau setiap keadaan mental (psikologis) yang hebat atau meluap-luap. Walaupun bentuk emosi itu bermacam-macam yang bahkan terkadang sulit untuk kita definisikan karena terkadang emosi itu bercampur aduk menjadi satu. Berbagai macam emosi tersebut bisa dikategorisasikan menjadi amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.
Walaupun demikian, daftar pengelompokan emosi ini tidak menjawab setiap pertanyaan bagaimana pengelompokan bermacam-macam emosi tersebut dimaknai. Misalnya, bagaimana tentang perasaan yang campur aduk seperti iri hati, variasi antara perasaan marah yang juga mengandung sedih dan takut? Hal
inilah yang masih menjadi tantangan bagi para psikolog untuk terus menemukan jawabannya.
Keterampilan mengelola emosi
Cinta yang merupakan bentuk emosi yang sangat populer terutama bagi kalangan remaja, mengandung unsur-unsur penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih. Pacaran adalah sebuah proses saling mengenal, memahami dan menghargai perbedaan diantara dua individu. Dalam proses ini tentu saja keterampilan mengelola emosi sangatlah diperlukan untuk kesuksesan dalam berpacaran secara sehat! Keterampilan mengelola emosi tersebut meliputi :
1. mampu mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan yang muncul
2. mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas (kadar) perasaan
3. mampu mengelola perasaan
4. mampu mengendalikan diri sendiri
5. mampu mengurangi stres
6. mampu mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan.
Selain keterampilan emosional, keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan (kognitif - dalam bahasa psikologinya) juga penting.
Keterampilan seperti melakukan monolog (berbicara kepada diri sendiri) atau melakukan dialog batin untuk menghadapi suatu masalah; dapat membaca atau menafsirkan isyarat-isyarat sosial, misalnya mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku kita dan melihat dampak perilaku kita tidak hanya dengan kacamata pribadi akan tetapi dengan pandangan (perspektif) yang lebih luas yaitu masyarakat di mana kita tinggal; menggunakan langkah-langkah yang tepat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan memperhitungkan risiko-risiko yang mungkin akan terjadi; mampu memahami sudut pandang orang lain; memahami sopan santun, perilaku mana yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat; bersikap positif dan optimistis; serta mampu mengembangkan harapan-harapan yang realistis tentang diri sendiri dan masa depan kita.
Keterampilan berperilaku
Untuk melengkapi keterampilan emosional dan kognitif, ada satu lagi keterampilan yang harus kita kuasai untuk dapat berhasil dalam kehidupan kita (termasuk dalam berpacaran... ) yaitu keterampilan dalam berperilaku. Perilaku kita mencakup dua hal yaitu perilaku verbal dan perilaku nonverbal. Perilaku verbal adalah perilaku yang diwujudkan dengan kata-kata, misalnya mampu mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas (misalnya minta duit, minta cium, minta mobil...he..he..), menanggapi kritik secara efektif, mampu bersikap asertif (tegas dan terbuka) untuk menolak pengaruh-pengaruh negatif (no drugs ... no hubungan seks...), dan mampu mendengarkan orang lain. Sedangkan perilaku nonverbal adalah perilaku yang diwujudkan dengan sikap tubuh, ekspresi wajah (seperti cemberut, tersenyum, dan seterusnya..), pandangan mata (melotot, melirik, ...), dan lain-lain.
Manusia dikarunia Tuhan tiga kemampuan tersebut yaitu kecerdasan, emosi dan perilaku, tinggal bagaimana kita mengelolanya sehingga mampu melengkapi satu sama lain.
Kecerdasan emosi tidak hanya penting dan perlu untuk pacaran saja, akan tetapi juga untuk kesuksesan kita dalam mengarungi hidup ini. Sudah cerdaskah kita secara emosional? Ataukah kita justru berada dalam golongan orang yang tidak atau belum mampu mengendalikan emosi kita ...

Cita dalam cinta

Cita-cita, pasti semua orang mempunyainya. Demikian juga cinta. Artikel ini saya persembahkan khususnya bagi Anda yang belum berumah tangga dan masih dalam pencarian cinta dan jati diri. Kita mulai dari yang pertama. Setiap orang yang berpikiran ke depan pasti memiliki cita-cita. Entah itu tinggi, sedang atau sederhana, semua orang berhak untuk bercita-cita dan untuk memperjuangkannya sampai cita-cita itu bisa diraih. Bahkan ada pepatah yang mengatakan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Ini maksudnya agar hidup kita mempunyai tujuan dan ada sesuatu yang akan kita perjuangkan untuk kita raih. Dibandingkan orang yang tidak memiliki cita-cita—yang biasanya hidup asal hidup, tanpa memiliki tujuan yang pasti—orang yang bercita-cita akan lebih optimis dalam kesehariannya, punya tujuan hidup dan melangkah pasti menjadi manusia pembelajar. Karena punya cita-cita, kita memiliki harapan. Dengan bercita-cita, ada yang kita tuju. Dan jika cita-cita itu telah menjadi kenyataan maka perasaan bahagia akan menyelimuti jiwa kita. Misalnya seorang gadis dewasa yang sekian lama mendambakan seorang pria tampan dan bertanggung jawab untuk menjadi suaminya. Ketika impian itu jadi kenyataan, di hari pernikahannya mungkin dia akan menangis… bukan tangis kesedihan tapi itu yang dinamakan “tangis bahagia”. Cita-cita yang sederhana bisa jadi penuh makna jika kita benar-benar memimpikannya. Ada juga yang bercita-cita menjadi sarjana, bahkan kalau bisa lulus dengan nilai cum laude. Walaupun dia tahu, di sekolah kita hanya diajarkan tentang apa yang kita pikirkan (pelajaran-pelajaran yang kadang tidak berguna di dunia nyata), bukan bagaimana kita berpikir untuk meraih kehidupan yang lebih bermakna. Namun, jika kita berasal dari keluarga yang sangat sederhana, pernah dihina karena berpendidikan rendah, mungkin itu akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi diri kita dan orang tua. Dan ketika hari wisuda itu tiba, air mata bahagia tidak bisa terbendung. Demikian juga dengan impian yang lainnya. Ketika kita telah menjadi diri yang dulu selalu kita bayangkan—entah itu menjadi motivator, trainer, penulis best seller, dokter, tentara, guru, pengusaha, artis, pilot, astronot, dan lain-lain—saat semua itu terwujud maka ada kepuasan mendalam yang bisa kita rasakan. Kita telah menjadi apa yang kita ingin menjadi.
Di samping cita-cita, kita juga ternyata membutuhkan cinta, baik cinta (kasih sayang) dari orang tua, saudara, sahabat, lingkungan sekitar dan lebih khusus lagi dari seseorang yang kita harapkan akan jadi pendamping hidup kita. Kita selalu membutuhkan cinta sebagaimana kata pujangga, “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga…” Ini hanya sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa sesungguhnya secara fitrah kita membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta dari orang lain. Kita membutuhkan cinta kasih sesama manusia! Kita tidak dapat hidup sendiri. Jika kita sendirian maka kita akan kesepian. Dalam kesepian, kita akan merana dan hati akan meronta mencari kedamaian. Mencari cinta dari sudut pandang yang sempit bisa diberi makna mencari pendamping hidup yang nantinya menjadi pelabuhan cinta kita dalam sebuah mahligai rumah tangga melalui sebuah pintu pernikahan yang sakral. Lain halnya jika kita mencari cinta yang lebih agung dan hakiki (Anda bisa menbaca artikel “Badai Pasti Berlalu 2: Mencari Cinta Sejati”). Sesuai dengan judul artikel ini, Apakah cita-cita dan cinta bisa jalan bergandengan? Ini adalah sebuah pertanyaan bagaimana antara cita-cita dan cinta dalam hidup bisa kita raih, apakah bersamaan, cita-cita dulu baru cinta atau sebaliknya, atau yang satu harus mengorbankan yang lain…
Seorang sahabat berpendapat “bisa”, cita-cita dan cinta bisa berjalan bersama, dengan alasan seseorang bisa lebih bersemangat dalam mengejar cita-citanya demi membahagiakan orang yang dicintai. Orang yang dicintai bisa bermakna orang tua, keluarga, atau orang yang nantinya menjadi jodoh kita. Siapa pun orang yang kita kasihi, pasti kita ingin mempersembahkan yang terbaik untuk mereka, karena mereka adalah orang yang berjasa dalam hidup kita. Pendapat di atas memang benar. Jika kita memiliki orang yang kita kasihi, kita berjuang dengan energi maksimal untuk meraih kesuksesan di bidang apa pun yang kita tekuni. Jika telah berhasil, semua buah dari jerih payah kita akan kita persembahkan untuk mereka yang kita kasihi. Kita memiliki energi pendorong yang berasal dari sebuah emosi yang disebut cinta. Energi ini sangat dahsyat bagi mereka yang tahu cara menggunakannya.
Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama 20 tahun yang menunjukkan bahwa perasaan cinta merupakan salah satu emosi yang berada pada level energi positif yang bisa memberikan percepatan terhadap terwujudnya keinginan kita. Dalam tabel Map of Consciousness, cinta berada di bawah level energi pencerahan, kedamaian dan suka cita. Sedangkan di bawah level energi cinta ada berpikir, penerimaan, kemauan, dan netralitas. Semua jenis emosi tersebut berada di atas baseline sehingga bernilai positif (memancarkan energi positif) dan mempermudah pencapaian segala sesuatu dalam hidup kita. Jenis emosi yang berada di bawah baseline dan merugikan karena mengikis energi kita adalah perasaan bangga, marah, keinginan (desire), takut, kesedihan mendalam, apatis, rasa bersalah dan rasa malu (shame). Semua perasaan/emosi di atas baseline bermanfaat dan yang berada di bawah baseline merugikan kita. Perasaan cinta memberikan pancaran energi positif yang membantu mempermudah terwujudnya apa yang kita inginkan. Cinta memberikan semangat. Lebih dari itu, cinta membuat jiwa kita lebih hidup. Cinta di sini adalah sebuah emosi yang memberikan pancaran energi, bukan dalam konteks perasaan manusia berlawanan jenis yang sedang dimabuk asmara yang kadang dicampuradukkan dengan nafsu. Pendek kata, jika kita bekerja pada level energi cinta maka segala sesuatu akan lebih mudah kita raih.
Sahabat yang lain juga berpendapat, cita-cita dan cinta jelas bisa seiring selama orang yang kita cintai mendukung apa yang kita cita-citakan, atau kita telah mendapatkan cinta yang kita cita-citakan. Menurut saya, ini sangat masuk akal, karena jika orang yang kita cintai mendukung usaha kita maka kita akan mendapatkan sumber motivasi yang dahsyat. Jadi, kita tidak perlu susah payah menghadiri seminar-seminar motivasi atau membaca buku-buku motivasi karya motivator papan atas negeri ini. Cukup dimotivasi oleh seseorang yang kita cintai, jika itu memadai. “Mendapatkan cinta yang kita cita-citakan”, mungkin ini adalah yang diharapkan dari sebuah pencarian cinta (bisa dibahas dalam artikel tersendiri).
Contoh di atas adalah jika kita memiliki orang yang kita cintai. Bagaimana jika kita tidak punya keluarga dan orang yang kita kasihi? Kita tidak memiliki orang lain yang bisa untuk tempat berlabuhnya emosi cinta, bagaimana kita dalam mengejar cita-cita? Kita akan berusaha biasa-biasa saja, loyo atau justru bersemangat? Kitalah yang menentukan akan mendapat energi pendorong apa selain dari energi cinta. Sekarang, jika cinta itu kita maknai sebagai seseorang yang kita kasihi. Kita mencintainya karena berharap si dia akan jadi pendamping hidup kita. Dalam perjalanan meraih cita-cita ini mungkin akan bercampur dengan kisah Arjuna Mencari Cinta. Jadi, seperti kisah sinetron saja… Sambil meraih cita-cita kita menjalin cinta atau sebaliknya. Selama yang satu memotivasi yang lain, mungkin ini akan bermanfaat. Namun jika yang satu harus mengorbankan yang lain, mungkin akan ada satu sisi jiwa kita yang merasa kehilangan.
Misalnya ada seseorang yang demi meraih cita-citanya terpaksa harus meninggalkan orang yang ia kasihi ke negeri yang jauh. Ia terpaksa meninggalkan cintanya, dan jika setelah kembali ternyata cinta yang dinanti telah menghilang disambar orang, mungkin ini akan menyakitkan, namun ia harus merelakannya. Cinta yang goyah oleh jarak dan waktu bukanlah cinta yang murni walau mungkin mulut berikrar sehidup semati. Cinta seperti ini jika diukur seperti emas bukanlah emas 24 karat, namun emas sekarat, hehe…
Ada lagi, sepasang muda-mudi menjalin cinta sambil meniti cita-cita (baca: sekolah atau kuliah). Eh, tiba-tiba si gadis berbadan dua gara-gara cintanya. Ini namanya MBA (Marriage by Accident). Cintanya bukanlah cinta yang suci, tapi cinta yang terpolusi oleh nafsu yang tak terkendali atau nafsu yang berkedok cinta semu. Gara-gara peristiwa MBA ini, si gadis terpaksa harus keluar (atau dikeluarkan) dari sekolahnya. Padahal masa depannya akan cerah jika ia terus menempuh pendidikan sampai akhir. Cita-citanya kandas karena kesalahannya dalam memaknai cinta… Kasus di atas bukanlah cerita belaka, namun benar-benar ada dan banyak terjadi di kehidupan generasi muda kita. Ini merupakan salah satu fitnah jaman yang menyesatkan karena zina adalah dosa besar dalam agama manapun. Beruntung jika kita terhindar dari bencana tersebut.
Contoh lain misalnya, seorang pemuda/pemudi yang akan menghadapi ujian, entah itu masuk perguruan tinggi atau untuk mendapatkan pekerjaan/meniti karier. Ujian ini akan sangat menentukan masa depan. Tak disangka di saat mau ujian ia bertengkar dengan cintanya (baca: kekasih) karena suatu masalah. Pertengkaran itu membuat pikirannya kacau balau karena hampir memhancurkan hubungan mereka. Fokus pikirannya menjadi terpecah tak karuan dan fatalnya, ia tidak dapat lulus karena saat ujian keadaan jiwanya sedang tidak menentu. Cita-citanya kandas hanya karena masalah yang sebernarnya sepele. Siapa yang salah? Sebenarnya semua itu tidak harus terjadi seandainya si pelaku memiliki kedewasaan berpikir dan pengendalian emosi. Akibat yang fatal seperti tersebut di atas tidak lebih karena kita menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya atau mempraktekkan sesuatu belum saatnya. Cinta yang berujung pilu (merugikan, memalukan, menyengsarakan) mungkin yang disebut cinta monyet. Bisakah pelakunya disebut monyet? Buktinya mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk… sama dong dengan nyemot, eh… monyet! Biasanya cinta seperti ini dimiliki orang yang belum dewasa (tidak cuma usianya, namun juga pemikirannya). Terus, bagi orang yang sudah dewasa cintanya disebut cinta gorila dong…, habis gorila kan lebih besar dari monyet? Terserah Anda, mau nggak disebut gorila?!
Dari ulasan di atas, tidak berlebihan kiranya jika kita menarik kesimpulan bahwa boleh-boleh saja dalam berproses meraih cita-cita, kita nyambi menjalin cinta dengan catatan:
Sudah bisa memahami arti cinta yang sesungguhnya
2. Memiliki pengendalian emosi yang mempuni
3. Tahu batas dan etika sesuai ajaran agama (prinsip kemanfaatan)
Saya tidak mengatakan “menjalin cinta” di sini sebagai “pacaran” mengingat pacaran lebih menjurus ke perbuatan maksiat yang dilarang agama walau pun sangat banyak penggemarnya (baca artikel berjudul “Antara Cinta dan Nafsu”). Menjalin cinta bisa berupa persahabatan yang tulus, membangun komitmen untuk menikah, mencinta dengan hati, atau berkolaborasi untuk membuahkan karya bermanfaat dengan si dia.
Ada baiknya untuk menambah suasana penuh cinta, kita simak syair lagu berikut ini:
KARENA CINTA
T’lah kutemui banyak cinta
Di hati ini datang dan pergi
Selimuti kisahku yang biru
Mendalam di hati
Biar kurentangkan cintaku
Menariku di atas senduku
Sendirinya aku tak berkasih
Mendalami hati
Karena cinta aku jadi sepi
Karena cinta aku jadi riang
Karena cinta aku jadi pilu
Karena cinta kini ku sendiri
Karena cinta pelangiku hilang
Karena cinta matahari pergi
Namun kuyakin dalam hatiku
Cintaku tak boleh membunuhku…
Ternyata dalam meraih cita-cita, energi cinta ini banyak sekali manfaatnya, baik untuk memotivasi maupun untuk penyeimbang jiwa kita yang pada dasarnya membutuhkan cinta. Cinta di sini tidak hanya dari sesama manusia, namun kita juga harus mencintai perjuangan meraih cita-cita itu sendiri, mencintai karya kita atau berkarya dengan cinta. Dan yang lebih agung lagi, apapun yang kita lakukan dalam meraih cita-cita semuanya kita persembahkan demi meraih cinta yang hakiki, yakni cintanya Sang Pemilik Cinta. Dialah yang menciptakan kita dengan cintaNya, dengan sifat Rahman dan RahimNya. Milikilah sebuah “cinta” niscaya cita-cita akan lebih mudah tercapai! Saya sengaja menulis kata “cinta” dalam tanda petik, memberi kebebasan kepada Anda secara pribadi untuk memaknainya).
Sebagai penutup, saya akan mengutipkan sebuah Hadits Nabi yang artinya kurang lebih sebagai berikut, “Cintailah yang di permukaan bumi, niscaya yang di atas langit akan mencintaimu”.

Monday 1 November 2010

10 ciri orang yang berpikir positif

1. Melihat masalah sebagai tantangan
Orang yang berpikir positif tak pernah gentar menghadapi masalah. Mereka memandang masalah sebagai tantangan yang harus dijalani. Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat, mereka selalu mengangggap hidupnya paling sengsara di dunia.
2. Menikmati hidup
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati, mereka lebih bisa menikmati hidup. Tapi, menerima keadaan bukan berarti mereka tak berusaha untuk mencapai hidup terbaik.
3. Terbuka untuk menerima saran dan ide
Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik.

4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak
Memelihara pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa tidur. Disangka tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.
5. Mensyukuri apa yang dimiliki
Dan bukannya berkeluh kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya.
6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu, mendengarkan omongan yang tak ada juntrungannya adalah perilaku yang dijauhi si pemikir positif.
7. Tidak membuat alasan, tapi langsung mengambil tindakan
Mereka jelas bukan penganut
8. Menggunakan bahasa positif
Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme misal “semuanya pasti ada jalan keluarnya” atau “aku bersyukur atas segala karuniaNya, semoga esok akan lebih baik lagi” dsb.
9. Peduli pada citra diri
Menghormati dirinya sendiri dengan selalu merawat diri, menjaga kesehatan dan penampilan agar tampak positif bagi diri sendiri maupun lingkungan.
10. Menggunakan bahasa tubuh yang positif
Diantaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap. Mereka juga berbicara dengan intonasi yang bersahabat dan antusias.