Blogger suryahandayana
YAKIN & BERMANFAAT

Friday 7 October 2016

PROFESIONALITAS KONSELOR

A. Identitas Profesional

Bimbingan dan konseling dalam set ing pendidikan sedang berjuang untuk mewujudkan dan memperoleh pengakuan dari berbagal pihak sebagai kegiatan yang profesional. Jika bimbingan dan konseling ingin diakui sebagai suatu profesi, maka harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Dalam hal ini, Pat erson (1967) mengemukakan persyaratan pokok profesi sebagai berikut:

a. Suatu profesi melaksanakan fungsi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Bimbingan dan konseling di sekolah tidak hanya memenuhi kebutuhan perkembangan peserta didik perorangan, tetapi juga memenuhi kebutuhan masyarakat pada umunya. Artinya, diperlukan sumber daya manusia yang terdidik di bidang bimbingan dan konseling dan dapat memberikan layanan dengan tepat sesual dengan keperluan masyarakat untuk pembangunan, khususnya generasi muda. Dengan kata lain, melayani peserta didik bukan untuk peserta didik itu sendiri, tetapi diorientasikan ke pemenuhan kebutuhan masyarakat pada umumnya.

b. Suatu profesi harus dilaksanakan atas dasar filosofi tertentu.
Profesi melayani manusia dan pelayanannya dipengaruhi oleh konsepnya mengenai sifat kodrat manusia tersebut, baik yang dinyatakan secara tersurat maupun yang tersirat. Sifat kondrat manusia Indonesia ialah menunggalnya makhluk pnibadi dan mahktuk sosial. Jadi pengembangan kepribadian peserta didik juga diorientasikan kepada pengembangan potensi manusia dan kemampuan manusia untuk terlibat dalam hubungan harmonis dengan orang lain.

c. Suatu profesi melaksanakan fungsi dan peranan yang telah ditetapkan untuk itu.
Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan nomor 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah dapat dimasukkan sebagai ketetapan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia saat ini. Suatu profesi harus melaksanakan fungsi- fungsi yang unik dan tidak dapat dilaksanakan oleh orang-orang lain. Apa yang menjadi kewajiban dan fungsi konselor atau guru bimbingan dan konseling tidak akan dan tidak dapat sama baiknya dilaksanakan oleh guru mata pelajaran maupun pimpinan sekolah. Ini semakin ditegaskan dengan terbitnya Permendiknas nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor serta Permendikbud Nomor 111 Tahun 2004 tentang Bimbingan dan konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

d. Suatu profesi mempunyal suatu standar seleksi dan pendidikan.
Seleksi dilaksanakan oleh badan profesional atau oleh wakil-wakil institusi pendidikan. Pendidikan S1 dan Profesi Bimbingan dan Konseling merupakan program penyiapan tenaga profesional yang akan menjalankan layanan bimbingan dan konseling;
e. Suatu profesi harus berisi suatu badan pengetahuan dan ketrampilan yang
tidak dimiliki sama oleh pekerjaan bukan profesional dan atau tidak sama dengan yang dikerjakan oleh profesi lain. Pengetahuan dan ketrampilan sebagaimana diatur dalam standar kompetensi konselor merupakan dasar bagi kinenja fungsi profesional dan terkait dengan inti kewijiban yang unik yang dilaksanakan oleh para anggota profesi –konselor atau guru bimbingan dan
konseling;

f. Suatu profesi,
Meskipun mandiri dan menyajikan layanan-layanan unik, tidak dapat menjadi segala-galanya untuk semua orang atau tidak dapat memenuhi semua kebutuhan manusia. Oleh karena itu profesi harus peka terhadap kebutuhan manusia yang tidak dapat terlayani sepenuhnya dan profesi harus mengenali sumbangan dari profesi lain yang terkait, dan untuk itulah dalam bimbingan dan konseling dilaksanakan layanan referal;

g. Suatu profesi sangat memperhatikan kepada keefektifannya dan karena itu melakukan riset untuk mengevaluasi hasil layanannya dan menemukan serta menyumbangkan metode-metode, pendekatan dan teknik-teknik baru untuk meningkatkan keefektifan kinerja bimbingan dan konselingnya. Oleh karena itu, guru bimbingan dan konseling harus kompeten dalam penelitian tindakan bimbingan dan konseling (PTBK);

h. Akhirnya, masalah umum profesi bimbingan dan konseling yang sedang tumbuh dan berkembang antara lain terkait dengan masalah kerahasiaan dan etika, meskipun dapat diduga bahwa orang-orang profesional bersifat etis, ada masalah-masalah berkaitan dengan etika profesi karena itu pedoman bagi perilaku profesional mutlak diperlukan dalam sebuah Kode Etik. Jadi, setiap profesi mengembangkan suatu kode etika yang menyediakan pedoman bagi perilaku profesional anggotanya. Apakah yang menjadi identitas profesional konselor atau guru bimbingan dan bimbingan dan konseling Indonesia? Sejak tahun 1975, para pemikir dan pelaku bimbingan dan konseling bertemu di IKIP Malang dan tepat tanggl 17 Desember 1975 mendirikan organisasi profesi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI, sekarang ABKIN). Sejak tahun 2005, ABKIN telah memikirkan beberapa penanda utama bimbingan dan konseling sebagai profesi. Penanda-penanda tersebut adalah1) kode etik, 2) kompetensi, dan3) sertifikat dan akreditasi. (ABKIN, 2005).

1) Kode Etik.
Kode etik suatu profesi adalah wujud pengaturan diri profesi. Kode etik merupakan suatu aturan bertujuan untuk melindungi profesi dari campur tangan pihak luar yang tidak relevan, mencegah ketldaksepakatan internal dalam suatu profesi dan mencegah para praktisi dari perilaku malpraktik. Kode etik konselor atau guru bimbingan dan konseling Indonesia telah dirumuskan dan disepakati dalam lingkungan ABKIN, tetapi yang masih perlu terus menerus disesuaikan dengan tuntutan perubahan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, divisi ABKIN-pun,
misalnya Ikatan Instrumentasi Bimbingan dan konseling Indonesia (I BKIN), juga menerbitkan kode etik terkait dengan pertestingan dalam bimbingan dan konseling. Walaupun secara umum praktik bimbingan dan konseling telah dilindungi dengan kode etik yang diterbitkan ABKIN, praktik utama bimbingan dan konseling seharusnya juga diatur tersendiri.

2) Kompetensi. Konselor atau Guru Bimbingan dan konseling memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus dalam standar kecakapan yang tinggi. Kompetensi ini diuji melalui pendidikan formal atau ujian khusus sebelum memasuki dunia praktik profesional. Penyelenggaraan Pendidikan Konselor atau Guru Bimbingan dan konseling dipilah menjadi pendidikan yang mengampu penyiapan penguasaan kompetensi akademik yakni Pendidikan S1 Bimbingan dan konseling serta pendidikan yang mengampu penyiapan penguasaan kompetensi profesional yakni Pendidikan Profesi Konselor dan atau Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan konseling. Konselor itu pendidik amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 Ayat 6, karena itu konselor harus berkompeten sebagai pendidik. Konselor adalah seorang profesional, karena itu layanan bimbingan dan konseling harus
diatur dan didasarkan kepada regulasi perilaku profesional, yaitu KodeEtik.(Rosjidan, 2004) Lebih jauh, Rosjidan (2004) menyatakan bahwa dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang pendidik yang kinerjanya mengejawantahkan ranah pendidikan dan ranah
psikologi (psikoedukasi), dengan perangkat pengetahuan dan keterampilan psikologis yang dimiliki-nya untuk membantu individu mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi secara optimal. Kompetensi yang dikembangkan dan diacu pada aktivitas bimbingan dan konseling saat ini adalah yang termaktub pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor..

3) Sertifikasi dan Akreditasi.
Predikat Konselor (Kons) disandang oleh individu tertentu yang didasarkan atas sertifikasi yang dimiliki yang ditempuh melalu pendidikan profesi konselor (PPK). Permendikbud nomor 111tahun 2014 Lampiran butir IV menyebutkan lulusan Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor (PPGBK/K) yang telah lulus dianugerahi gelar Gr. Kons. Sertifikasi diberikan lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam program yang disiapkan secara khusus untuk itu. Program studi yang ada LPTK adalah program yang terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga konselor profesional. Kelayakan sebuah lembaga penyelenggara pendidikan konselor didasarkan pada hasil akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) bersama-sama dengan organisasi profesi seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Asosiasi Bimbingan dan konseling Indonesia (ABKIN).Keterlibatanorganisasi profesi dalam melakukan akreditasi dipandang penting karena organisasi profesi bersama LPTK merupakan institusi yang enetapkan kompetensi nasional yang harus dicapai melalui program Pendidikan konselor atau guru bimbingan dan konseling di LPTK. Dengan sertifikasi dan akreditasi ini, pekerjaan bimbingan dan konseling akan menjadi professional karena hanya dilakukan oleh konselor atau guru bimbingan dan konseling yang tersertifikasi.

Dalam praktik, program sertifikasi guru yang berjalan selama ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Patut diduga penyebab utamanya adalah terjadinya salah-pasang (mismatch) dimana yang diikutkan sertifikasi guru bimbingan dan konseling bukan guru lulusan program studi bimbingan dan konseling. Kejadian ini juga dialami oleh guru mata pelajaran-mata pelajaran.

B.Pengembangan Profesional
Pengembangan jejaring menyangkut kegiatan konselor atau guru bimbingan dan konseling yang meliputi (a) konsultasi, (b) menyelenggarakan program kerjasama, (c) berpartisipasi dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan satuan pendidikan, (d) melakukan penelitian dan pengembangan. Suatu program layanan
bimbingan dan konseling tidak mungkin akan terselenggara dan tujuannya tercapai
bila tidak memiliki suatu sistem pengelolaan yang bermutu, dalam arti dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah.
Pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan secara utuh diarahkan untuk memberikan kesempatan kepada konselor atau guru bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan dalam jabatan maupun kegiatan- kegiatan pengembangan dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling, baik di tingkat pusat, daerah, dan juga melalui aktivitas Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling. Peningkatan kapasitas dan kompetensi konselor atau guru bimbingan dan konseling akan mendorong meningkatnya kualitas layanan
bimbingan dan konseling.

a. Konsultasi;dalam konteks bimbingan dan konseling mempunyai dua makna.
Pertama, sebagai layanan bantuan kepada siswa melalui individu lain yang lebih berkewenangan. Posisi aktivitas ini ada pada layanan peminatan dan perencanaan individual serta pada layanan responsif. Kedua, sebagai bagian
dari dukungan sistem dalam proses pengembangan profesionalitas konselor atau guru bimbingan dan konseling. Pada posisi kedua ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang secara tidak langsung menfasilitasi mengembangkan kemandirian peserta didik/konseli.

Tujuan konsultasi pada dukungan sistem ini untuk (a) meningkatkan dan mengembangkan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didik, (b) meningkatkan komunikasi melalui menyampaikan informasi yang diperlukan oleh orang-orang yang kompeten, (c) mendudukkan peran dan fungsi dari semua fihak dalam meningkatkan lingkungan belajar kondusif, (d) meningkatkan layanan ahli untuk kepentingan pengembangan peserta didik mencapai perkembangan optimal, (e) memperluas pendidikanin-service bidang layanan bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran, wali kelas, dan pimpinan sekolah, (f) menciptakan sebuah lingkungan yang memadukan seluruh komponen pendidikan yang bias membentuk sebuah lingkunganyang tepat bagi pencapaian perkembangan optimal peserta didik (adaptasi dari Shertzer dan Stone, 1981).

b. Menyelenggarakan program kerjasama; dimana guru bimbingan dan konseling dalam melaksanakan layanan memperhatikan efisiensi pelaksanaan layanan dan keefektifan pencapaian tujuan. Ke dalam, guru bimbingan dan konseling bekerjasama dengan guru mata pelajaran dan pimpinan sekolah untuk mengambil peran sesuai kewenangan masing-masing dalam menfasilitasi perkembangan peserta didik. Ke luar, kerjasama bisa dibangun dengan individu dan atau lembaga yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan karir.

c. Berpartisipasi dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan satuan pendidikan;dalam batas-batas kewengan dan fungsi bimbingan dan konseling, konselor melaksanakan tugas-tugas tambahan yang berorientasi pada layanan kepada peserta didik/konseli. Dalam diskusi dengan banyak praktisi bimbingan dan konseling, diajukan pertanyaan, “Apakah bersedia untuk menjadi petugas piket di sekolah?” Rata-rata konselor atau guru bimbingan dan konseling menjawab, “Tidak bersedia!”. Alasan secara umum, konselor atau guru bimbingan dan konseling tidak boleh menghukum. Ada kesalahan persepsi bahwa fungsi petugas piket itu menghukum. Bagaimana jika tawaran itu diterima dan diterapkan model MengelolaSekolahTanpaKegagalan: Menggapai Kondisi Violent Zero via Eliminate Punishment (Triyono, 2007). Belajar dari Konseling Realitas Glasser, kita coba terapkan konsep 3 R’s (Responsibility, Reality, dan Right) untuk mendisiplinkan siswa. Sebagai contoh, saat peserta didik datang terlambat, biasanya guru sebagai petugas piket menghukum mereka. Alih-alih menghukum, peserta didik tersebut dii solasi sebenatar untuk memikirkan rencana keberangkatan ke sekolah esuk harinya. Apa yang direncanakan diminta untuk menuliskannya sebagai kontrak perilaku. Rencana yang baik ini sudah harus di-reinforce. Kita diajari predictive reassurance, misalnya dengan mengatakan, “Yusi telah membuat rencana yang bagus, jika benar-bnenar you lakukan, aku yakin you tidak akan terlambat lagi.” Cara ini akan lebih baik daripada menghukum mereka. Tentun saja masih banyak aktivitas lain, misalnya dalam Penerimaan Peserta Didik Baru, menyelenggarakan Career Days, Col ege Days, dan beberapa aktivitas sekolah yang lain. Coba kita pikirkan apa yang bisa direncakan untuk mengisi waktu luang peserta didik pasca ujian sekolah?

d. Melakukanpenelitiandanpengembangan; salah satu kompetensi konselor atau
guru bimbingan dan konseling adalah melaksanakan penelitian (PTBK) terutama untuk mengembangkan praksis bimbingan dan konseling yang lebih tepat bagi peserta didik.

C. Organisasi Profesi
Organisasi profesi bimbingan dan konseling di Indonesia sangat dinamis. Berawal dari tahun 1975 tepatnya 17 Desember 1975 sejumlah pakar dan praktisi bimbingan dan konseling di IKIP Malang membahas tentang keberadaan bimbingan dan konseling (dh bimbingan dan penyuluhan) di Indonesia sebagai
profesi. Pertemuan awal tersebut mendirikan organisasi yang diberi nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Sejak awal organisasi ini telah dilengkapi
dengan organ Pengurus Besar, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Kode
Etik. Selanjutnya dalam pertemuan pengurus dikembangkan progam kerja. Perkembangan lebih lanjut karena semakin jelasnya siapa yang harus menjadi
anggota dan organisasi itu bukan sekedar himpunan anggota tetapi himpunan
profesi, maka tahun 2000 di Lampung IPBI diubah nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Kesadaran adanya berbagai kekhasan dalam tubuh ABKIN, maka dibentuklah divisi-divisi ABKIN yaitu Ikatan Pendidikan dan Supervisi Konseling (IPSIKON), Ikatan Konseling Industri dan Organisasi (IKIO), Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), Ikatan
Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi (IPKOPTI), Ikatan Instrumentasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (I BKIN), Ikatan Konselor Indonesia (IKI).
Setiap divisi memerankan fungsi bagi pengembangan profesi anggota-anggotanya. Di samping itu berkembang di kalangan praktisi yang sejalan seimbang denga Musyawarah Guru Mata Pelajaran dibentuk wadah namannya diawal Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) dan selanjutnya berubah nama menjadi Musyawarah
Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) yang sekarang sudah berbadan hukum.

Dikalangan pendidikan disadari perlunya bergabung pula para lulusan ilmu-ilmu pendidikan dan dibentuklah organisasi profesi Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI). Di bawah ISPI untuk mengikat sarjana bimbingan dan konseling dibentuk wadah yang diberi nama Himpunan Sarjana Bimbingan dan Konseling Indonesia (HSBKI). HSBKI merupakan organisasi yang paling intensif aktivitasnya karena setidaknhya sebulan sekali di setiap kota atau kabupaten mengadakan pertemuan- pertemuan membahas praktik-praktik bimbingan dan konselimg di daerah masing- masing. Kiprah profesi di antara organisasi profesi bimbingan dan konseling tersebut di atas sangat dinamis. Semuanya bergerak dalam membangun kesadaran profesi dan perkembangan kompetensi anggotanya. Kesadaran tersebut tidak hanya di tingkat pusat, tepai merambah sampai ke daerah-daerah, baik oleh organisasi induk maupun divisi-divisinya. Konvensi, lokakarya, seminar, diskusi panel, dan kegiatan ilmiah lainnya dilakukan untuk memajukan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia. Organisasi profesi merupakan organisasi yang anggotanya adalah para praktisi
yang menetapkan diri mereka sebagai profesi dan bergabung bersama untuk
melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat mereka laksanakan dalam
kapasitas mereka sebagai individu.

Sebagai jabatan profesional, guru, termasuk guru bimbingan dan konseling harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan
keseluruhan kinerja profesi. Dalam hal ini organisasi profesi sangat berperan penting dalam meningkatkan kesadaran,sikap,mutu,dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk guru bimbingan dan konseling. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 41 menyebutkan bahwa guru membentuk organisasi profesi yang bersifat indepanden
yang bertujuan untuk memajukan profesi,meningkatkan kopetensi, karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam pasal ini dijelaskan juga tentang guru wajib menjadi anggota organisasi tersebut.

Fungsi Organisasi Profesi Guru, termasuk Guru Bimbingan dan Konseling

a.FungsiPemersatu Anggota Profesi
Organisai profesi kependidikan merupakan wadah pemersatu berbagai potensi profesi pendidikan dalam menghadapi kompleksitas tantangan dan harapan masyarakat penguna jasa kependidikan.

b.Fungsi Peningkatan Kemampuan Profesional Anggota
Guru sebagai anggota profesi harus bisa meningkatkan kemampuan profesionalnya melalui organisasi tersebut. Dengan mengikuti organisasi tersebut diharapkan guru dapat meningkatkan dan mengembangkan karir, kemampuan, kewenangan professional, martabat dan kesejahteraan. Hal ini juga tertulis dalam PP Nomor 38 Tahun 1992, Pasal 61 yang berbunyi “tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan mengembangkan karir, kemampuan, kewenangan profesional, martabat dan kesejahteraan tenaga kependidikan.

Tujuan Organisasi Profesi Guru termasuk Guru Bimbingan dan Konseling

Tujuan dari organisasi profesi guru ini salah satunya adalah untuk mempertinggi kesadaran,sikap,mutu dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan guru. Dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 di jelaskan ada lima misi dan tujuan organisasi tersebut yaitu meningkatkan dan mengembangkan karir, kemampuan, kewenangan profesional, martabat dan kesejahteraan seluruh tenaga pendidik. Sedangkan misinya adalah mewujudkan pendidik sebagai pemangku layanan yang professional. Untuk guru bimbingan dan konseling adalah layanan bimbingan dan konseling secara profesional. Secara rinci tujuan organisasi profesi adalah a) meningkatkan dan mengembangkan karir anggota, b) meningkatkan dan mengembangkan kemampuan anggota, c) meningkatkan dan mengembangkan kewenangan professional anggota, d) meningkatkan dan mengembangkan martabat anggota, e) meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan anggota.Sejak awal ditetapkannya ABKIN, saat itu masih bernama IPBI, mempunyai tujuan yang masih relevan sampai saat ini, yaitu sebagai berikut.

a. Menghimpun para petugas di bidang bimbingan dalam wadah organisasi.
b. Mengidentifikasi dan menginventarisasi tenaga ahli, keahlian dan ketrampilan,
teknik alat dan fasilitas yang telah di kembangkan di Indonesia di bidang bimbingan, dengan demikian dimungkinkan pemanfaatan tenaga ahli dan keahlian tersebut dengan sebaik-baiknya.
c. Meningkatkan mutu profesi bimbingan, dalam hal ini meliputi peningkatan profesi dan tenaga ahli, tenaga pelaksana, ilmu bimbingandan konseling sebagai disiplin, maupun program layanan bimbingan dan konseling.

Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling

Mengenai kode etik ini perlu dibahas makna kewenangan di antara profesi sejenis.
Bahwa sebagai profesi pembantuan bimbingan dan konseling berdampingan
dengan profesi pembantuan lainnya. Dari sisi praktik bimbingan dan konseling oleh
karena banyak dilakukan oleh orang yang tidak berlatar pendidikan yang tepat,
maka di lapangan masih banyak miskonsepsinya. Selanjutnya dibahas tentang
hakekat kode etik dan isi kode etik yang berlaku di Indonesia.
a. Kesesuaian Kewenangan dan Kode Etik
Dalam profesi pembantuan (helping profession) terbentang garis kontinum dari
nasehat, bimbingan, konseling, psikoterapi. Di samping itu, ada profesi sejenis
yang bergerak di bidang helping profession, seperti guru mata pelajaran, guru
kelas, pekerja sosial. Masing-masing mempunyai karakter sendiri, namun
mereka juga saling bersinggungan. Oleh karena itu, konselor atau guru
bimbingan dan bimbingan dan konseling harus memahami posisinya dalam
konteks pembantuan lainnya.
Dalam konteks pembantuan ini, kedudukan mereka dapat digambarkan
sebagai berikut. Bahwa di antara profesi terdapat interseksi, ketika dibedakan
antara nasehat dan bimbingan, sebenarnya bisa jadi nasehat ada dalam
bimbingan namun tetap mengacu pada client empowering dan mengaktifkan
konseli.


Demikianpun dalam profesi bimbingan yang erat kaitannya dengan bimbingan
dan konseling ada unsur yang sama namun ada pula ciri khas yang tidak ada
dikedua profesi. Dalam konteks yang dekat lainnya, yakni bimbingan dan
konseling dan psikoterapi, keduanya ada kesamaan namun mempunyai
karakteristik sendiri-sendiri, misalnya pendekatan bimbingan dan konseling
juga sebagai pendekatan psikoterapi, bimbingan dan konseling dilakukan
konselor yang basisnya sebagai pendidik, sementara psikoterapi dilakukan
oleh psikiater yang basis profesinya sebagai seorang dokter.

















NASEHAT











BIMBINGAN





Gambar 1.1









KONSELING











PSIKOTERAPI

Interseksi Profesi Pelayanan Bantuan


Oleh karena profesi bimbingan dan konseling belum tampak mapan di
lapangan, sampai saat ini masih banyak dijumpai miskonsepsi tentang profesi
tersebut. Uraian mengenai miskonsepsi berikut, sebagaimana sering
dikemukakan mendiang Prof. Munandir, akan bisa dipetik sarinya terkait batas-
batas kewenangan yang harus dijaga oleh pemangku profesi bimbingan dan
bimbingan dan konseling. Tulisan dinarasi kembali disesuaikan dengan
kebutuhan implementasi Permendikbud Nomor 111 tahun 2014 tentang
Bimbingan dan konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.


Kemajuan telah dicapai mengenai penyelenggaraan bimbingan dan konseling
sebagaimana dapat diamati di banyak sekolah. ini lebih-lebih nyata sejak kira-
kira empat puluh tahun yang lalu, yaitu sejak diberlakukannya Kurikulum
1975/1976. Demikianpun disebutkan bahwa kemajuan yang dicapai belum
memadai ditinjau dari sudut pengertian bimbingan dan konseling sebagai
layanan profesional.Di samping kelemahan mutu layanan, tidak jarang dijumpai
praktik-praktik bantuan yang menyimpang dari pengertian dan asas bimbingan
dan konseling sebagai bentuk layanan kemanusiaan, bahkan kadang-kadang
dijumpai terjadi malpraktik.Salah satu sebabnya adalah terdapatnya pengertian
yang keliru (miskonsepsi), yang umumnya dijumpai di kalangan guru mata
pelajaran, dan tidak jarang juga terdapat pada kepala sekolah sendiri.













Penjelasannya tidak sukar dicari: banyak dari petugas bimbingan dan konseling
adalah guru mata pelajaran yang ditunjuk kepala sekolah untuk menangani
bimbingan dan konseling, karena ketentuan mengharuskannya begitu–program
bimbingan dan konseling sekolah harus ada dan berjalan, sementara tenaga
bimbingan dan konseling yang berpendidikan ahli masih belum
mencukupi.Beberapa miskonsepsi itu adalah sebagai berikut.


1) Layanan bimbingan dan konseling hanya bagi peserta didik yang
bermasalah. Ada pendapat bahwa layanan bimbingan dan konseling hanya
ditujukan kepada peserta didik-peserta didik tertentu saja, yaitu yang
“nakal”, yangmelanggar tata tertib sekolah, yang suka membuat onar di
kelas, yang mengalami masalah, dan yang menjadi masalah. Di dalam satu
kelas terhimpun peserta didik-peserta didik yang memiliki berbagai sifat dan
pembawaan, dan latar belakangnyapun berlain-lainan. Ada anak yang maju
belajarnya dan ada yang sulit mempelajari pelajaran tertentu. Anak tertentu
memperlihatkan perangai yang menyenangkan bagi teman-temannya di
kelas, oleh teman-teman sepergaulannya dikatakan baik. Peserta didik yang
lain bisa dikatakan manis laku, tidak pernah membuat onar, tetapi ia bisa
menjadi masalah, menjadi “nakal” karena menggangu teman-teman yang
duduk bersebelahan dengannya. Ini karenaia sudah menguasai bahan yang
diajarkan guru dan pelajaran menjadi membosankan baginya, pelajaran
tidak menarik. Semua orang, termasuk yang sehari-hari disebut ‘normal’ dari
waktu ke waktu, pernah mengalami pikiran kalut, kusut, kacau, galau, risau,
konflik, atau situasi dilematis. Dalam kehidupan bermasyarakat yang makin
kompleks ini tidak ada orang yang terbebas dari masalah. Demikianpun,
tidak ada orang yang tidak memerlukan orang lain. Kelas adalah masyarakat
kecil, ia cerminan kehidupan masyarakat yang kompleks. Anak-anak itu
berasal dari masyarakat, dan mereka datang di kelas dengan membawa
pola-pola perilaku, termasuk prasangka, konflik-konfliknya, yang berasal dari
masyarakat. Dari arah tinjauan inipun, tidak ada peserta didik yang tanpa
masalah. Lagi pula, orang memerlukan orang lain bukan karena ada











masalah, tetapi mungkin sekedar ingin mengemukakan sesuatu perasaan,
berbagi rasa, kebersamaan, suatu keperluan (misal: suatu informasi yang
tidak dipunyainya yang berguna untuk mengambil keputusan). Atau, seorang
peserta didik barangkali telah mengambil suatu keputusan berkenaan
dengan masalahnya, dan ia menemui seorang kawan, atau seorang guru,
sekedar minta dukungan dan dorongan berkenaan dengan keputusan yang
diambilnya itu, keputusan yang sebenarnya sudah tepat. Jadi, program
bimbingan dan konseling di sekolah diselenggarakan untuk semua peserta
didik, yang bermasalah maupun yang ‘ tidak bermasalah’ . Keberatan atas
pandangan bahwa bimbingan dan bimbingan dan konseling hanya untuk
anak yang bermasalah adalah peserta didik-peserta didik lain mungkin
enggan datang ke ruang bimbingan dan konseling karena khawatir akan
dikatakan punya masalah, atau ‘’ada apa-apa’ dengannya, oleh teman-
temannya.


Dalam konteks bimbingan dan konseling saat ini, lebih-lebih lagi dijelaskan
bahwa bimbingan bimbingan dan konseling harus mengalami perubahan
paradigma. Guidance and counseling in the schools also continues to
undergo reform, changing from position-services model to a comprehensive
program firmly grounded in principles of human growth and development
(Gysbers dan Henderson, 2006, 2012). Artinya, bimbingan dan bimbingan
dan konseling benar-benar bukan hanya untuk peserta didik bermasalah,
tetapi untuk semua peserta didik yang sedang tumbuh dan berkembang.
Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Surya Dharma (2013) mengenai
citra bimbingan dan konseling. Ada anggapan bahwa Guru BK hanya
bertugas untuk mengatasi anak-anak yang nakal dan bermasalah,
akibatnya anak-anak merasa “berdosa” atau dianggap jelek jika suatu saat
dipanggil atau masuk ruang guru BK. Untuk itu, Surya Dharma pada
pembinaan karir guru BK SMK menyampaikan harapan dan tantangan
yakni tantangan untuk mengubah citra negatif menjadi guru yang
dirindukan semua peserta didik, yang bisa memberi ketenangan,



H





kenyamanan, kesejukan, dan tempat memperoleh pencerahan bagi semua
peserta didik.


2) Bimbingan dan konseling ditujukan bagi peserta didik yang melanggar
disiplin; tujuannya mendisiplinkan peserta didik itu. Hasil yang diharap-
kan dari penyelenggaraan program bimbingan dan konseling di sekolah
adalah menjadi lebih lancarnya proses pendidikan, dan peserta didik lebih
berhasil belajarnya dan lebih baik penyesuaian pribadinya. Sebagian guru
ada yang mempunyai pemahaman bahwa hadirnya konselor atau guru
bimbingan dan konseling di sekolah akan membuat tugasnya “menjadi
enteng”. Pemahaman yang keliru membuat kebijakan sekolah yang
menetapkan bahwa guru bimbingan dan konseling adalah satu-satunya
pihak di sekolah yang diserahi tugas kalau ada peserta didik yang
mengalami masalah pelanggaran disiplin. Kebanyakan Peserta didik yang
dirujuk (di-referal) ke konselor atau guru bimbingan dan konseling adalah
mereka yang mempunyai masalah pelangaran disiplin atau masalah
“kenakalan” lainnya.


Penanganan kasus masalah belajar dan masalah tingkah laku umumnya
adalah tanggung jawab bersama seluruh staf sekolah, tidak hanya konselor
atau guru bimbingan dan konseling saja. Suatu kasus masalah memang
terutama menjadi kewenangan guru untuk penanganannya (khususnya,
kesulitan mempelajari suatu pokok pelajaran), kasus yang lain terutama lebih
menjadi urusan wali kelas, masalah yang lain lagi barangkali garapan
petugas tata tertib, sedangkan yang lain lagi terutama menjadi kewenangan
konselor atau guru bimbingan dan konseling. Banyak kasus masalah tingkah
laku yang penanganannya memerlukan ancangan bersama, ancangan tim.
Kerja tim menghendaki kerja bersama dan saling konsultasi antara pihak-
pihak yang berkepentingan dalam penanganan kasus. Pertemuan kasus
(case conference) adalah forum yang di dalamnya konselor atau guru
bimbingan dan konseling, guru bidang studi, guru kelas (untuk sekolah












dasar). Wali kelas, barangkali pula perawat/dokter sekolah; duduk
membahas kasus masalah seorang peserta didik dengan tujuan bersama-
sama menemukan penyelesaian masalah; ini contoh tim kerja. Dalam per-
temuan kasus, konselor atau guru bimbingan dan konseling mempunyai
peranan penting, bahkan memegang kepemimpinan.Demikianlah, konselor
atau guru bimbingan dan konseling berperan dan ruang kerja bimbingan dan
konseling bukan semacam “keranjang sampah” tempat pelemparan setiap
dan semua masalah peserta didik.


Di samping pertemuan kasus, Triyono (2009) menyatakan bahwa sebagai
tim, guru bimbingan dan konseling dan guru matapelajaran bisa melakukan
layanan konsultasi. Kedua belah fihak, didukung fihak lain yang
berkepentingan sebagai stakeholders, dalam membicarakan bersama
tentang kasus-kasus pelanggaran disiplin.

3) Bimbingan itu pemberian nasihat. Istilah bimbingan rupanya dipahami
banyak orang sebagai padanan kata memberi nasihat. Menurut mereka,
bimbingan itu memberikan nasihat kepada seseorang mengenai apa yang
sebaiknya, atau seharusnya dilakukan orang tersebut. Demikianpun
diartikan secara keliru, nasihat itu tentang bagaimana seseorang
seharusnya berfikir, merasakan, menyikapi sesuatu. Wujud kongkritnya, itu
berupa saran, atau anjuran atau petunjuk atau pengarahan –untuk sesuatu
yang dipandang baik –atau larangan –atau sesuatu yang dianggap buruk.

Bimbingan dan konseling berpegang pada pendirian bahwa setiap orang
pada dasarnya mempunyai dorongan dan kemampuan untuk mengendalikan
diri, untuk mengatur diri dan untuk maju dalam perkembangannya, untuk
“menjadi baik”. Kemampuan itu terhalang tidak bisa diwujudkan, oleh karena
berbagai sebab dalam diri: oleh perasaannya (perasaannya sendiri), pikiran-
nya, pandangannya. Bimbingan dan konseling membantu orang (konseli)
untuk menyingkirkan penghalang tersebut. Dengan demikian ia mampu
berpikir terang dan realistik, dan selanjutnya membuatnya mampu bertindak










sendiri. Ini dicapai dengan, antara lain membantu konseli tersebut
memperoleh informasi dan data tentang dirinya, baik kekuatan maupun
kekurangannya. Informasi dan data ini selanjutnya digunakan untuk
memahami dan menerima dirinya. Bimbingan dan konseling berlangsung
kira-kira sebagai berikut: seorang konseli datang menemui konselor atau
guru bimbingan dan konseling dengan membawa kerisauannya, konselor
atau guru bimbingan dan bimbingan dan konseling mengajak konseli itu
memikirkan dan membahas kerisauannya itu, kongkritnya pertemuan
konselor atau guru bimbingan dan konseling–konseli itu merupakan
pertemuan di situ konseli memikirkan dan membahas masalahnya bersama
konselor atau guru bimbingan dan konseling. Jadi, dalam bimbingan dan
konseling, konseli tidak menyerahkan masalahnya begitu saja kepada
konselor atau guru bimbingan dan konseling untuk dicarikan pemecahannya.
Sebaliknya, konselor atau guru bimbingan dan konseling tidak mengambil
alih usaha pencarian penyelesaian masalah konseli.

Langkah akhir yang ingin dituju dari semua langkah dan usaha ini adalah
orang-orang yang bersangkutan (dalam hal ini peserta didik, konseli)
menentukan sendiri pilihannya dan memutuskan sendiri apa yang mau
dikerjakannya. Nyata bahwa bimbingan lain sama sekali dengan pemberian
nasehat. Dalam pertemuan antara konselor dan konseli terjadi proses
pembahasan dan proses pemikiran bersama, dan di dalam pertemuan itu
pada akhirnya konseli sendiri yang memutuskan jurusan apa yang akan
dimasukinya, dan pada pembahasan selanjutnya pekerjaan apa yang mau
dipilihnya, misalnya. Dalam pemberian nasehat, peserta didik menunggu apa
yang akan dinasehatkan guru; di sini tidak terjadi proses. Dalam bimbingan
dan konseling, orang yang dibimbing (konseli) aktif, sedangkan dalam
pemberian nasehat orang yang minta nasehat pasif.Dalam pemberian
nasihat, pemberi nasihat dipandang ahli, kedudukannya superior, sedangkan
pihak yang minta nasihat tidak berpengetahuan, kedudukannya lebih
rendah.Dalam bimbingan, konselor atau guru bimbingan dan konseling








MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





bukan seorang pakar atau orang yang serba tahu, sedangkan konseli tidak
lebih rendah ketimbang konselor atau guru bimbingan dan bimbingan dan
konseling. Konselor atau guru bimbingan dan konseling dan konseli sederajat
kedudukannya, sejawat yang sama-sama memikirkan masalah
konseli.Konselor atau guru bimbingan dan konseling tidak mencarikan
pemecahan masalah bagi konseli, melainkan mengajaknya bersama-sama
memikirkan masalahnya. Demikianlah, dalam bimbingan dan konseling
terjadi pemikiran bersama.

Jika, bimbingan diartikan juga sebagai pemberian nasihat, bisa saja, tetapi
pengertiannya adalah bahwa nasihat yang diberikannya itu nasihat yang
mengaktifkan konseli, yang memberinya tanggung jawab, jadi yang mendidik.
Nasehatpun juga dipakai sebagai salah satu teknik bimbingan dan konseling.
Ada nasehat langsung saat konseli meminta informasi, ada nasehat persuasi,
kalau konseli sebenarnya sudah tahu jalan keluarnya tetapi meminta
dukungan konselor, dan juga ada nasehat alternatif ketika banyak jalan yang
bisa dipilih dan masing-masing dilihat kelebihan dan kekuranyannya. Dalam
pengertian ini, nasihat yang diberikan konselor atau guru bimbingan dan
konseling tidak berupa semacam barang yang sudah jadi, konseli tinggal
terima tetapi nasihat yang bersifat mendorong, yang memudahkan, yang
memperlancar konseli untuk pada akhirnya ia mengambil keputusan atau
menentukan pilihan sendiri. Sebagai catatan akhir perlu disebutkan, yaitu
bahwa ada memang kejadian konseli yang begitu berat masalah pribadinya,
begitu dalam akar masalahnya itu, sehingga ia sangat tergantung, ia betul-
betul tidak bisa diajak memikirkan dirinya. Untuk konseli yang demikian
konselor atau guru bimbingan dan konseling yang akan lebih banyak bersifat
direktif, mengarahkan, tetapi yang dimaksudkan adalah mengarahkan yang
tetap mendidik. Asasnya juga berlaku, yaitu bahwa pendekatan direktif itu
ditempuh tidak terus menerus. Jelasnya, mula-mula direktif, berangsur-
angsur itu dikurangi, dan dibarengi dengan pemberian penguatan
(reinforcement) setiap kali konseli menunjukkan kemajuan dalam








MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





pemikirannya, pada akhirnya konseli diberikan makin banyak tanggung
jawab. Mudah dipahami kalau penanganan kasus terakhir lebih memakan
waktu daripada penanganan kasus anak semacam konseli yang bingung
memilih jurusan pada sekolah kelanjutannya.

4) Bimbingan dan konseling hanya bisa berjalan baik kalau tersedia tes.
Tes dan alat ukur kepribadian yang lain yang bisa digunakan dalam
pekerjaan bimbingan dan konseling di sekolah, khususnya adalah dari jenis
tes kecerdasan (“tes IQ”, salah kaprah), tes bakat, inventori minat, tes baku
hasil belajar. Tes-tes yang dikembangkan dengan baik dapat mengung-
kapkan segi-segi pribadi peserta didik, misalnya kecerdasan (intelegensi
atau kemampuan umum), bakat (kemampuan khusus), minat, sikap, capaian
belajar dalam suatu mata ajaran tertentu. Data-data pribadi yang di dapat
melalui tes itu dalam bimbingan digunakan untuk membantu peserta didik
mengenal dan memahami dirinya, dalam hal ini memahami kemampuannya,
minat jabatannya dan sebagainya. Jadi, data itu memang diperlukan, tetapi
kedudukannya hanyalah alat bantu dan pelengkap belaka. Pemahaman diri
itu adanya, terjadinya, di dalam diri peserta didik, dengan alat berupa hasil
tes diharapkan pemahaman itu lebih baik dari pada kalau tanpa data. Data
itu selanjutnya diperlukan untuk bahan mengambil keputusan. Namun
demikian, data asal tes itu hanya merupakan sebagian saja dari data dan
keterangan yang diperlukan untuk bahan pertimbangan. Banyak data pribadi
seorang peserta didik dapat dikumpulkan tanpa menggunakan tes.
Keterangan mengenai seorang peserta didik-perasaan, harapan,
pengharapan, persepsi, perspektif, kekhawatiran, keraguan, pertentangan
batin, kepercayaan, pemaknaan --yang sahih adalah yang diungkapkan
langsung, tanpa perantaraan alat seperti tes, oleh peserta didik tersebut
sendiri. Jadi, data dari tes itu hendaknya dipandang dan diperlukan sebagai
pelengkap atau tambahan belaka untuk data tentang diri konseli yang dapat
diungkap melalui wawancara.










MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





Di samping alasan tidak mutlaknya penggunaan tes dalam bimbingan dan
bimbingan dan konseling, ada alasan lain yang lebih mendasar yaitu adanya
keberatan digunakannya tes dalam bimbingan dan konseling. Keberatan
terhadap penggunaan tes ini mula-mula dikemukakan Carl R. Rogers,
penganjur bimbingan dan konseling aliran pusat-konseli atau person-
centered counseling (terkadang disebut juga aliran ”non-directif”). Rogers
berpengaruh besar terhadap pandangan dan pemikiran tentang bimbingan
dan konseling dan praktik-praktiknya hingga kini. Keberatannya adalah
bahwa tes dapat menyebabkan konseli bergantung pada sesuatu yang ada
di luar dirinya, yaitu tes itu. Analoginya adalah hubungan pasien-dokter.
Dokter memeriksa pasien menggunakan berbagai alat, stetoskop umpanya,
dan pasien pasrah saja kepada dokter, kepada stetoskop ia percaya dan
menerima saja apa hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat itu.
Padahal, tujuan bimbingan dan konseling adalah konseli justru harus lebih
mengandalkan dirinya sendiri (Tyler, 1961, dalam Munandir 2005).

Untuk keperluan mengambil keputusan, di samping data pribadi tidak jarang
juga dibutuhkan keterangan lain, misalnya keterangan tentang dunia kerja,
pendidikan lanjutan dan persyaratan masuknya, peraturan perundang-
undangan. Keterangan-keterangan ini karena amat berguna untuk
penyelenggaraan bimbingan dan konseling maka perlu tersedia di sekolah,
apakah itu diperoleh sekolah dari sumber luar atau dikumpulkan oleh
sekolah. Untuk pengumpulan informasi seperti itu tidak diperlukan peralatan
apa-apa dan praktis tidak terlalu makan biaya. Informasi dari industri dan
dunia usaha bisa diperoleh cuma-cuma.

Mengenai data pribadi konseli sendiri, konselor bisa mengungkapnya dengan
teknik dan alat lainnya, misalnya alat yang disebut fact gathering,
observation, dan self-report, di samping test. Sebagai catatan dapat
ditambahkan bahwa dalam soal tes untuk keperluan bimbingan dan
konseling ini masih banyak yang harus kita kerjakan. Di sekolah-sekolah kita
umumnya memang belum tersedia tes. Pada waktu ini baru sedikit sekali,







MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





kalaupun ada, alat-alat ukur psikologi yang dikembangkan berdasarkan
budaya kita. Demikianpun, kalau ada tersedia, menurut pengamatan tes-tes
itu tidak dilengkapi dengan norma yang representatif. Tes semacam itu tidak
banyak gunanya bagi bimbingan dan bimbingan dan konseling, artinya bagi
konseli, bahkan bisa menyesatkannya. Jadi, tes tidak mutlak harus ada
dalam/untuk bimbingan dan bimbingan dan konseling.Namun demikian, jika
tersedia, hal itu dapat memperlancar pekerjaan konselor atau guru bimbingan
dan konseling dan sangat membantu bagi konseli untuk pengambilan
keputusan. Satu catatan penting: jikalau digunakan, tes harus digunakan
semestinya.

5) Bimbingan dan Konseling paling tepat kalau dijalankan oleh petugas
yang sudah berumur. Anggapan tentang usia petugas ini rupanya ada
kaitannya dengan pandangan yang keliru di atas, yaitu bahwa bimbingan dan
konseling berupa pemberian nasihat. Orang yang lebih tua, karena lebih
lama menjalani hidup dianggap banyak pengalamannya, telah kenyang
dengan liku-liku kehidupan dunia, telah banyak “makan asam-garam
kehidupan”. Dalam kebudayaan dan masyarakat kita umumnya, orangtua
dijunjung, dihormati, pendapatnya dinilai mengandung nilai-nilai kebenaran.
Anak-anak diganjar, dalam proses sosialisasi, karena/apabila tingkah lakunya
menghormati orangtua atau cocok dengan apa yang dikehendaki orangtua
dan masyarakat umumnya. Anak belajar memperoleh pola-pola tingkah laku
dan sikap-nilai sosial yang membuatnya lebih puas, lebih mantap, kalau
segala dan sebarang apa yang hendak dikerjakan mendapat sawab (restu)
dari orangtua, atau orang yang dituakan. Pola tingkah laku yang demikian ini
mempunyai akar yang dalam di dalam kebudayaan. Padahal kepedulian atas
kemaslahatan manusia tidak semata-mata dilihat dari umurnya (Triyono,
2005). Dalam banyak kasus, orang-orang yang lebih mudapun bisa lebih
peduli ketimbang yang sudah berumur.

Seperti yang telah diutarakan, bimbingan dan konseling merupakan
pengalaman belajar; bimbingan tidak terdiri atas pemberian nasihat. Dalam







MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





membimbing, yang dituntut dari seseorang konselor atau guru bimbingan dan
konseling adalah kepekaan melihat, merasakan, atau memikirkan segala
sesuatu seperti konseli melihatnya, merasakannya, atau memikirkannya,
tidak seperti apa dan bagaimana hal-hal itu menurut konselor atau guru
bimbingan dan konseling. Dalam bimbingan dan konseling berpusat-pribadi
atau konseli, dikenal dengan sebutan internal frame of reference atau internal
locus of evaluation (Corey, 2009). Melaksanakan bimbingan dan konseling
memerlukan sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan keahlian profesional
yang diperoleh melalui pendidikan khusus tingkat tinggi. Kalau seorang
petugas bimbingan dan konseling kaya akan pengalaman hidup itu bagus,
dalam banyak hal bahkan dikehendaki. Tidak hanya kaya pengalaman hidup,
seorang konselor atau guru bimbingan dan konseling seyogyanya
mempunyai cukup pengalaman mengajar, pengalaman mengajar yang
merupakan modal penting karena berguna untuk pelaksanaan tugas
bimbingan dan konselingnya. Akan tetapi, hal yang harus di ngat adalah
bahwa pengalaman yang diperoleh karena usia itu pertama-tama adalah
pengalaman pribadinya. Itu tidak bisa dipergunakan sebagai dasar untuk
“menasehati” konseli karena dengan berbuat begitu ia menyamakan konseli
dengan dirinya, menyamakan masalah konseli karena dengan berbuat begitu
ia menyamakan konseli dengan dirinya, menyamakan masalah konseli
dengan masalah dirinya – penyamaan yang tidak sejalan dengan asas
bimbingan dan bimbingan dan konseling. Pengalaman seseorang, dalam hal
ini pengalaman konseli, itu bersifat khas, tidak bisa diperbandingkan dengan
orang lainnya termasuk diri konselor. Walalupun sepintas bahwa masalah
dua orang konseli kedengaran sama, misalnya sama-sama masalah pilihan
pekerjaan – sama-sama antara bekerja dan meneruskan sekolah, atau
sama-sama memilih pekerjaan perawat gigi, umpamanya-namun masalah
kedua orang itu tidak sama benar. Apalagi, perbedaan antara pengalaman
(dan masalah) konseli dan pengalaman pembimbing tidak saja dalam hal
hakekatnya tetapi juga dalam hal pentingnya menurut pandangan masing-
masing. Satu pengertian mengenai pengalaman yang perlu diperhatikan







MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





adalah bahwa pengalaman seseorang itu berguna hanya apabila ia belajar
dari pengalamannya itu. Tidak jarang kita menjumpai seseorang yang sudah
ber-umur, tetapi perilakunya tidak lebih baik daripada orang yang usianya
lebih muda, ia sekarang tidak lebih arif daripada ketika usianya lebih muda,
semata-mata karena ia tidak belajar dari pengalaman usianya yang panjang
itu. Meminjam istilah Raka Joni, semakin tua hanya semakin menambah
rambut putihnya.

6) Konselor atau guru bimbingan dan konseling itu semacam psikiater
atau psikolog. Munandir pernah mengalami kejadian yang menarik, yaitu
pada waktu membimbing mahasiswa calon konselor atau guru bimbingan
dan konseling berpraktik lapangan di sebuah sekolah menengah. Pada hari
pertama praktik, kepala sekolah memperkenalkan mahasiswa praktik kepada
peserta didik-peserta didik sebagai berikut, “Anak-anak, ini Pak Agus dan Bu
Rosiana, ‘psikiater-psikiater’ yang akan menangani kalian, kalau ada yang
nakal, atau melanggar aturan sekolah”. Mungkin saja, kepala sekolah itu
hanya berseloroh, atau barangkali mau menunjukkan penghargaannya
terhadap pekerjaan konselor atau guru bimbingan dan bimbingan dan
konseling. Mungkin juga ucapan demikian didasari oleh kekelirupahaman.
Pernyataan demikian, di samping tidak tepat karena konselor atau guru
bimbingan dan bimbingan dan konseling lain sama sekali daripada psikiater,
dapat memberikan gambaran yang keliru kepada peserta didik-peserta didik
tentang konselor atau guru bimbingan dan konseling dan sifat layanan yang
diberikannya dengan akibat yang merugikan. Peserta didik tertentu mungkin
akan enggan menemui konselor atau guru bimbingan dan konseling, khawatir
diketahui teman-temannya yang akan mengatakan bahwa ia mengalami
gangguan, atau bahkan tidak waras akalnya, ada yang tidak beres pada
dirinya. Kondisi ini disinyalir Surya Dharma (2013) masih ada. Seperti yang
telah disebutkan, yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling
adalah semua peserta didik. Kalau mereka mengalami masalah, masalahnya
masih dalam batas-batas wajar masalah “orang normal”. Psikiater itu dokter








MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





yang mengambil spesialis psikiatri, kerjanya menolong orang sakit. Konselor
atau guru bimbingan dan konseling bukan dokter. Ia pendidik, yang kerjanya
memandirikan peserta didik.

Dalam kesempatan lain, konselor atau guru bimbingan dan konseling
disalahartikan dengan psikolog. Dua profesi yang mestinya berbeda, namun
dalam berbagai hal disamakan. Seorang teman, dosen BK, lulusan S1, S2,
dan S3 BK, tetapi di lapangan dia dikenal atau dikenalkan sebagai psikolog.
Sebuah sekolah swasta terkenal di Surabaya, membuka rekrutmen guru.
Salah satu yang dibutuhkan adalah Guru Bimbingan dan konseling, anehnya
di syarat yang diterima menjadi Guru BK tersebut adalah berijazah S1 atau
S2 Psikologi. Lebih konyol lagi karena di beberapa daerah saat rekrutmen
Pegawai Negeri Sipil guru, untuk formasi guru bimbingan dan konseling
diterima dari S1 Psikologi. Walaupun ABKIN sekitar tahun 2006/2007 pernah
berkirim surat kepada seluruh Dinas Pendidikan se Indonesia, rekrutmen
Guru BK dari Psikologi ini tetap jalan. Permendiknas Nomor 27 tahun 2008
telah mengatur kualifikasi akademik pemangku konselor yaitu lulusan
Program Studi S1 Bimbingan dan konseling dan Pendidikan Profesi
Konselor. Oleh karena mengikuti aturan pemerintah tentang Pendidikan
Profesi Guru, maka untuk konselorpun bisa diluluskan dari Pendidikan
Profesi Guru Bimbingan dan konseling atau Konselor (PPGBK/K). Hal ini
lebih ditegaskan lagi dalam lampiran IV Permendikbud Nomor 111 Tahun
2014, tentang Layanan Bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, konselor
bukan psikiater dan bukan psikolog. Konselor memiliki sosok kompetensi
profesional tersendiri karena telah melalui pendidikan profesi sebagaiman
diatur dalam peraturan menteri pendidikan.

7) Sekolah telah memberikan bekal cukup bagi peserta didik untuk
pemilihan pekerjaan. Miskonsepsi ini tampaknya bersumber pada paham
bahwa tugas utama sekolah adalah menyiapkan anak untuk kehidupan
kerja. Bekerja merupakan tahapan wajar setamat peserta didik dari sekolah.
Ini lebih-lebih nyata pada sekolah-sekolah kejuruan dan perguruan tinggi.










Pendidikan di SMK Teknologi, sebagai contoh, membekali peserta didik
dengan pengetahuan dan keterampilan kerja di bidang keteknikan. Dengan
pembekalan seperti itu peserta didik disiapkan menjadi teknisi. Yang dilihat
orang adalah contoh dari peserta didik-peserta didik yang bekerja setelah
mereka tamat dari sekolah. Proses bagaimana tamatan memperoleh
pekerjaan tidak diketahui persis orang tersebut. Miskonsepsi timbul karena
kurangnya pemahaman orang tentang perencanaan kerja, bahwa pemilihan
kerja itu suatu proses. Untuk menyusun rencana kerja dan mengambil
keputusan kerja orang tidak cukup bermodalkan pengetahuan dan
keterampilan kerja yang memang bisa didapat melalui pelajaran sekolah.
Memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja tidak dengan sendirinya
membuat orang mahir atau terampil memilih pekerjaan. Dengan kata lain,
pengetahuan dan keterampilan kerja perlu akan tetapi tidak mencukupi
untuk keberhasilan pemilihan kerja.

Sekolah lebih-lebih sekolah kejuruan, memang membekali peserta didik
dengan pengetahuan dan pengalaman belajar untuk itu dituangkan di dalam
kurikulum. Tetapi pengambilan keputusan, dalam hal ini keputusan kerja, di
samping bersifat pribadi, merupakan suatu proses dan mencakup
pertimbangan yang kompleks, dan ini di luar cakupan isi kurikulum.dalam
konteks bidang perkembangan karir, sebagai sasaran bidang bimbingan
karir, setidaknya harus dilalui proses kesadaran akan karir, eksplorasi karir,
pemahaman karir, sampai dengan pengambilan keputusan karir yang
semuanya tidak hanya bergantung pada program studi apa yang dipelajari
pada saat sekolah atau kuliah.

8) Bimbingan dan konseling adalah bimbingan karir atau pengembangan
diri atau layanan peminatan. Bimbingan adalah bimbingan karir merupakan
kesalahpahaman yang rupa-rupanya umum terdapat di kalangan guru
banyak sekolah, terlebih lagi di sekolah-sekolah kejuruan. Kesalahan di
semua lini di tahun 1980-an saat gencar-gencarnya aplikasi modul bimbingan
karir, masih terasa di sekolah kejuruan. Masih ada anggapan bahwa







MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





bimbingan dan konseling itu ya bimbingan karir. Bagi mereka, "BK" adalah
bimbingan karir, sementara di kalangan profesional “BK” adalah singkatan
untuk bimbingan dan konseling (Sebagai padanan singkartan BP untuk
bimbingan dan penyuluhan yang sebelumnya sudah umum). Istilah
bimbingan karir muncul bersamaan dengan berlakunya Kurikulum 1984.
Rupanya karena kurangnya penjelasan ke sekolah-sekolah, BK diartikan
bimbingan karir. Menurut mereka, bimbingan dan konseling adalah
bimbingan karir, dan bimbingan karir adalah bimbingan dan konseling.
Dengan kata lain, menurut mereka, bimbingan karir adalah semuanya.

Disebutnya bimbingan karir secara khusus di dalam kurikulum itu soal
pengutamaan atau penekanan.Hal ini ada kaitannya dengan keadaan waktu
itu, yaitu dilakukannya peninjauan atas kurikulum yang berlaku, yaitu
Kurikulum 1975/1976. Peninjauan dilakukan dengan tujuan agar kurikulum
selaras dengan kebutuhan pembangunan. Pembangunan yang tengah
digalakkan-pembangunan dalam kerangka Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) – yang dimulai awal dasawarsa 70-an pada
masa kekuasaan “Orde Baru” (1966/67 – 1988) -demikianpun projeksi
perkembangan pembangunan itu membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah
yang makin banyak dan mutu yang makin tinggi agar selaras dengan
tuntutan keadaan. Demikianlah bimbingan dan konseling diberikan arti dan
peranan penting dalam usaha-usaha pengembangan sumber daya insani.

Bimbingan karir adalah kegiatan dan layanan bantuan kepada para peserta
didik dengan tujuan agar mereka memperoleh pemahaman dunia kerja dan
akhirnya mereka mampu menentukan pilihan kerja dan menyusun
perencanaan karir. Sebagaimana telah disebutkan salah satu ketrampilan
yang dikembangkan melalui bimbingan adalah ketrampilan mengambil
keputusan, dan keputusan di bidang pekerjaan hanyalah merupakan salah
satu meskipun termasuk yang penting dari keputusan-keputusan yang harus
diambil peserta didik dalam hidupnya. Keputusan dan pilihan banyak
jenisnya, misalnya keputusan tentang kelanjutan pendidikan, pilihan antara







MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H




bekerja dan melanjutkan sekolah, keputusan untuk hidup berkeluarga dan
keputusan-keputusan lain dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap hari
orang dihadapkan kepada pilihan-pilihan, besar atau kecil, dan orang harus
menentukan pilihan. Jadi, bimbingan karie itu hanyalah merupakan salah
satu bentuk bimbingan dan salah satu kegiatan bimbingan. Di SMA,
bimbingan karir diberikan pengutamaan dan ini mengingat, seperti yang
sudah dijelaskan dibagian depan, peserta didik-peserta didik di SMA ada
dalam masa yang kritis berkenaan dengan tahap perkembangannya, yaitu
dalam usia remaja akhir dan menghadapi pilihan antara kelanjutan ke
perguruan tinggi dan keharusan memikirkan secara lebih serius soal
pekerjaan dari bekerja setamat dari SMA.

Terbitnya kurikulum 2006 dengan nama KTSP membawa angin lain, dimana
bimbingan dan konseling diplesetkan ke arah pengembangan diri. Bahkan di
beberapa pertemuan dianggap sebagai mata pelajaran Pengembangan Diri.
Sebenarnya pengembangan diri pada umumnya lebih menjadi perhatian wali
kelas dan atau guru mata pelajaran yang jam pertemuannya lebih banyak
daripada konselor atau guru bimbingan dan bimbingan dan konseling. Ada
bagian pengembangan diri peserta didik yang menjadi bidang garap konselor
atau guru bimbingan dan konseling dan ada bagian guru mata pelajaran,
termasuk melalui aktivitas ekstra kurikuler.

Kurikulum 2013 membawa tugas peminatan. Satu aktivitas yang meminta
sekolah mengenali potensi peserta didik dengan tepat sejak awal.
Maksudnya, sebelum peserta didik memilih arah program studi atau jurusan
pada pendidikan lanjutan, harus ditemu kenali dahulu potensinya dan
perpaduan pengenalan diri, pilihan diri, pilihan orangtua, serta kesempayan
yang terbuka pada suatu satuan pendidikan diharapkan peserta didik dengan
senang hati karena tepat pilihan program studi masa depannya. Lagi-lagi ada
anggapan bahwa bimbingan dan konseling diganti dengan program
peminatan peserta didik. Itu semua adalah miskonsepsi yang harus
diluruskan. Terbitnya Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 dan di kuti







MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





pemilahan dalam beberapa Permendikbud, termasuk Permendikbud Nomor
111 Tahun 2014 memnbawa penjelasan yang lebih tepat akan kedudukan,
ekspektansi kinerja, fungsi dan peran bimbingan dan konseling.

b. Hakekat Kode Etik Profesi Bimbingan dan konseling

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang
berarti hati nurani ataupun perikelakuan yang pantas (atau yang diharapkan).
Secara sederhana hal itu kemudian diartikan sebagai ajaran tentang
perikelakuan yang didasarkan pada perbandingan mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Etika menurut berbagai literatur
sama juga dengan akhlak, moral, serta budi pekerti, dimana akhlak berarti
perbuatan manusia (bahasa arab), moral berasal dari kata “mores” yang
berarti perbuatan manusia, sedangkan budi adalah berasal dari dalam jiwa,
ketika menjadi perbuatan yang berupa manifestasi dari dalam jiwa menjadi
pekerti (bahasa sanskerta).Jadi kata etika, moral, akhlaq, serta budi pekerti
secara bahasa adalah sama, yaitu perbuatan atau tingkah laku manusia.
Dimana objek etika itu sendiri adalah perbuatan manusia sehingga menjadi
pembahasan yang sampai saat ini terus diperbincangkan. Menurut para ahli
maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana
yang buruk. Jadi kata etika, moral, akhlaq, serta budi pekerti secara bahasa
adalah sama, yaitu perbuatan atau tingkah laku manusia. Dimana objek etika
itu sendiri adalah perbuatan manusia sehingga menjadi pembahasan yang
sampai saat ini terus diperbincangkan.

Sedangkan profesi, secara epistemologi, istilah profesi berasal dari bahasa
Inggris yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya mengakui,
adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu
pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang
mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada
pekerjaan mental; yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai








MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual
(Danin, 2002). Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu
pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik.

Kemudian Profesional adalah: (a) bersangkutan dengan profesi, (b)
memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (c) Mengharuskan
adanya pembayaran untuk melakukannya.

Dengan demikian ada perbedaan antara profesi dan professional. Profesi
menunjukkan: (a) Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus,
(b) dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu),
(c) dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup, (d) dilaksanakan
dengan keterlibatan pribadi yang mendalam. Sedangkan Profesional : (a)
Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya, (b) meluangkan seluruh
waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya, (c) Hidup dari situ, (d) Bangga
akan pekerjaannya.

Hal lain yang mendukung adalah ciri-ciri profesi. Secara umum ada beberapa
ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :

1) Adanya pengetahuan khusus, biasanya keahlian dan keterampilan ini
dimiliki berkat pendidikan, pelatihan, dan pengetahuan yang bertahun-
tahun.
2) Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya
setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3) Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi
harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4) Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan
selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di mana nilai-nilai
kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, dan kelangsungan hidup
maka untuk menjalankan suatu profesi terlebih dahulu harus ada izin
khusus.
5) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.







MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





Konselor atau Guru Bimbingan dan konseling mempunyai dua kode etik yang
menggabarkan pedoman yang harus dipatuhi yaitu kode etik sebagai guru
Indonesia yang terpadu pada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan
kode etik terkait profesional khusus dalam bidang bimbingan dan konseling
dengan organisasi profesi Asosiasi Bimbingan dan konseling Indonesia
(ABKIN). Di samping itu, ketika konselor atau guru bimbingan dan konseling
memiliki kompetensi tambahan yang diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan khusus, akan dilindungi dengan kode etik tertentu. Sebagai contoh,
seorang konselor atau guru bimbingan dan konseling yang telah mengikuti
pelatihan sertifikasi tes akan tergabung ke dalam divisi Ikatan Instrumentasi
Bimbingan dan konseling Indonesia (I BKIN) yang juga mempunyai kode etik
tersendiri terkait pertestingan.

Kode etik Profesi Konselor Indonesia memiliki lima tujuan, yaitu:
1) Kode etik melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli
sebagai penerima layanan.
2) Mendukung misi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
3) Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku
yang etis bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling.
4) Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang
profesional.
5) Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan
keluhan serta permasalahan yang datang dari anggota asosiasi.

Etika profesi bimbingan dan konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang
menjadi rujukan bagi konselor atau guru bimbingan dan konseling dalam
melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan
bimbingan dan konseling kepada konseli. Kaidah-kaidah perilaku yang
dimaksud adalah:










MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H




1) Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai
manusia; dan mendapatkan layanan bimbingan dan konseling tanpa
melihat suku bangsa, agama, atau budaya.
2) Setiap orang/individu memiliki hak untuk mengembangkan dan
mengarahkan diri.
3) Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap
keputusan yang diambilnya.
4) Setiap konselor membantu perkembangan setiap konseli, melalui layanan
bimbingan dan konseling secara profesional.
5) Hubungan konselor-konseli sebagai hubungan yang membantu yang
didasarkan kepada kode etik (etika profesi).

Beberapa kegiatan profesional bimbingan dan konseling yang diatur dalam
kode etik terdiri atas informasi, testing, dan riset; proses pelayanan, dan
praktik mandiri. Aktivitas tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Penyimpanan dan penggunaan Informasi
a) Catatan tentang diri konseli, seperti hasil wawancara, testing, surat-
menyurat, rekaman dan data lain merupakan informasi yg bersifat
rahasia dan hanya boleh dipergunakan untuk kepentingan konseli.
b) Penggunaan data/informasi dimungkinkan untuk keperluan riset atau
pendidikan calon konselor sepanjang identitas konseli dirahasiakan.
c) Penyampaian informasi tentang konselikepada keluarganya atau
anggota profesi lain membutuhkan persetujuan konseli
d) Penggunaan informasi tentang konselidalam rangka konsultasi dengan
anggota profesi yang sama atau yang lain dapat dibenarkan asalkan
untuk kepentingan konselidan tidak merugikan konseli.
e) Keterangan mengenai informasi profesional hanya boleh diberikan
kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.

2) Testing
Suatu jenis tes hanya diberikan oleh konselor atau bimbingan dan konseling






MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.
a) Testing dilakukan bila diperlukan data yang lebih luas tentang sifat,
atau ciri kepribadian subyek untuk kepentingan pelayanan
b) Konselor wajib memberikan orientasi yg tepat pada konselidan orang
tua mengenai alasan digunakannya tes, arti dan kegunaannya.
c) Penggunaan satu jenis tes wajib mengikuti pedoman atau petunjuk
yang berlaku bagi tes tersebut
d) Data hasil testing wajib diintegrasikan dengan informasi lain, baik dari
konseli maupun sumber lain
e) Hasil testing hanya dapat diberitahukan pada pihak lain sejauh ada
hubungannya dengan usaha bantuan kepada konseli

3) Riset

a) Dalam mempergunakan riset terhadap manusia, wajib dihindari hal
yang merugikan subyek.
b) Dalam melaporkan hasil riset, identitas konseli sebagai subyek wajib
dijaga kerahasiannya.

Proses Pelayanan
Pada bagian ini tidak dibahas menegani bagaimana proses layanan bantyuan
diatur dan dilakukan untuk menfasilitasi perkembangan peserta didik/konseli. Pada
bagian ini lebih terkait dengan tata aturan normatif yang harus diperhatiakn oleh
konselor atau guru bimbingan dan konseling. Dua aspek penting yang harus
diperhatikan adalah hubungan dalam memberikan layanan dan hubungan dengan
konseli yang dilayani.

a. Hubungan dalam pemberian pelayanan
1) Konselor wajib membantu konseliselama ada kesempatan dalam
hubungan konseling antara konseli dengan konselor
2) Konselisepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan konselor,
meskipun proses bimbingan dan konseling belum mencapai hasil konkrit



22
















b.





MODUL GURU PEMBELAJAR BK KELOMPOK KOMPETENSI PROFESIONAL - H





3) Sebaliknya Konselor tidak akan melanjutkan hubungan konseling apabila
Konseli tidak memperoleh manfaat dari hubungan tersebut.

Hubungan dengan konseli
1) Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas pribadi dan
keyakinan konseli.
2) Konselor wajib menempatkan kepentingan konselidiatas kepentingan
pribadinya.
3) Konselor tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku,
bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial tertentu.
4) Konselor tidak diperkenankan memaksa seseorang untuk memberi
bantuan pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
5) Konselor wajib memberi pelayanan kepada siapapun terlebih dalam
keadaan darurat atau banyak orang menghendakinya.
6) Konselor wajib memberikan pelayanan hingga tuntas sepanjang
dikehendaki konseli.
7) Konselor wajib menjelaskan kepada konseli sifat hubungan yang sedang
dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing dalam hubungan
profesional.
8) Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap konseli.





















KEKUATAN DAN KETERBATASAN PRIBADI KONSELOR

1. Mengelola Kekuatan dan Keterbatasan Pribadi

Bahwa setiap konselor atau guru bimbingan dan konseling harus menyadari dirinya memiliki kekuatan dan kelemahan. Bagaimana ia mengelola melalui mengoptimalkan kekuatan dirinya dalam proses membantu, dan bagaimana meinimalkan kekurangan dalam pengaruhnya terhadap proses pelayanan BK dibahas dalam bagian ini. Setiap konselor atau guru bimbingan dan konseling harus memiliki a) sifat dasar pribadi, b) wawasan, dan c) rasa tanggungjawab terhadap peserta didik atau konseli yang dilayaninya (Rosjidan, 2004, 2007).


a. Sifat Dasar Pribadi Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling
Diantara sifat-sifat dasar yang menandai konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional, yang harus selalu diperhatikan oleh pengampu layanan bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut.
1) Percaya penuh kepada potensi setiap individu.
Konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional percaya kepada harga diri dan martabat pada setiap individu peserta didik yang dilayani, percaya kepada kemampuannya tumbuh dan berkembang, dan kemampuannya menanggulangi situasi kehidupannya. Dia mempunyai kepercayaan, kemampuan individu peserta didik untuk membangun tujuan dan nilai- nilai pnbadinya yang sesuai. Dia percaya bahwa dibawa kondisi yang menguntungkan, setiap individu dapat berkembang kearah yang menguntungkan bagi ditinya dan masyarakat.

2)Komitmen kepada nilai-nilai kemanusiaan individual.
Konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional mempunyai perhatian yang utama kepada individu peserta didik sebagai pribadi yang perasaannya, nilai-nilai, tujuan dan keberhasilan-keberhasilannya penting bagi diri peserta didik. Konselor menghormati dan menghargai kebutuhan peserta didik yang dia bimbing, membantu menemukan nilai-nilai mereka sendiri yang terbaik, menentukan tujuan mereka sendiri, dan menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu.

3)Peka terhadap lingkungan.
Konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional menaruh perhatian kepada lingkungan. Dia peduli dengan pemahaman kepada individu, kekuatan-kekuatan yang berpengaruh kepada tujuan individu dan kemajuannya dalam mencapai tujuan individu itu. Peserta didik adalah seorang pribadi yang dengan penjuangan dan karya-karyanya ingin menambah makna dan kekayaan batin bagi hidupnya.
4)Keterbukaan.
Konselor atau guru bimbingan dan konseling professional mempunyai penghargaan kepada suatu rentangan luas mengenai minat, sikap dan keyakinan. Dia selalu ingin mempertanyakan hal-hal, baik yang lama maupun yang baru, yang bersangkutan dengan bimbingan dan bimbingan dan konseling. Dia bersifat menerima gagasan baru, karya-karya dan temuan riset.
5)Pemahaman kepada diri sendiri.
Konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional mempunyai pemahaman kepada dirinya sendiri dan cara-cara bagaimana nilai-nilai pribadinya, perasaan dan kebutuhannya dapat berdampak kepada pekerjaannya. Dia mampu menangani aspek-aspek kehidupannya sendiri dengan cara-cara yang
tidak berdampak sebaliknya kepada pekerjaan bimbingan dan konselingnya. Dia mempunyai pengakuan kepada keterbatasan dirinya sendini dan mampu membuat keputusan pada saat keterbatasannya memerlukan nijukan kepada ahli-ahli lain yang Iebih mampu membantu daripada bimbingan dan konseling oleh dirinya melalui layanan referal.

6)Komitmen profesional.
Konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional menyadari suatu komitmen kepada bimbingan dan konseling sebagai profesi dan sebagai suatu alat untuk membantu individu dalam mengembangkan potensi-potensi mereka. Dia mempunyai suatu penghargaan atas tanggungjawab kepada bimbingan dan konseling dan masyarakat, dan mendorong melaksanakan praktik yang sehat dan benar demi memenuhi tanggungjawab ini. Dia mempunyai integritas pribadi dan kompetensi profesional yang memadai untuk memungkinkan menanggulangi tekanan-tekanan yang tidak sesuai dengan sikap menghargai kepada individu dalam suatu masyarakat demokrasi.

b. Wawasan Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling
Konselor atau guru bimbingan dan konseling professional dituntut untuk menguasai sejumlah wawasan, agar pelayanan profesionalnya tepat. Wawasan tersebut setidaknya menyangkut wawasan global, wawasan kemasyarakatan, wawasan kultural, dan wawasan psikologis (Rosjidan, 2007).

1) Wawasan global: Keterikatan suatu negara dengan negara lain, terutama dengan negara yang posisi ekonominya kuat semakin erat. Tidak ada satu negara di dunia sekarang yang dapat melepas-kan diri dari negara lain, terutama dalam segi perkembangan ekonomi. Globalisasi tidak hanya terbatas pengaruhnya pada bidang ekonomi saja, globalisasi kemudian menjangkau berbagai bidang kehidupan yang lain, misalnya komunikasi informasi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibat dari pengaruh kuat globalisasi itu maka jarak dunia semakin dekat.

Berkat pembangunan alat komunikasi yang semakin canggih di tanah air, arus infonmasi mulai dapat menembus secara cepat ke seluruh pelosok Tanah Air.Informasi adalah alat, kegunaannya bergantung atau bagaimana kemampuan dan cara penerima informasi itu mengelolanya. Seseorang akan dapat memperoleh nilai lebih dari informasi yang diterima, sedangkan orang lain mungkin tidak dapat memperoleh keuntangan dari informasi yang diterima. Salah satu masalah yang timbul sebagai dampak ledakan informasi bagi pendidikan ialah bagaimana agar para peserta didik dipersiapkan untuk mempunyai kemampuan mengelola informasi, mencakup kemampuan menjaring informasi, mengklasiflkasinya, mengevaluasi dan menyimpannya secara sistematis agar sewaktu-waktu diperlukan, maka informasi itu dapat dipergunakan secara lebih mudah dan cepat. Pengaruh kehidupan global saat ini, terutama dengan mulai
diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang memberlakukan pasar tunggal produk-produk negara asean. Dari sisi produk, Indonesia yakin bahwa produk-produk Indonesia mampu bersaing di pasar bebas Asean, tetapi dari sisi SDM, pemerintah merasa takut (Deny, 2015). Ini sejalan dengan pernyataan Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional
Kementerian Perindustrian (yang dikutip Deny) yang dikhawatirkan adalah belum semua SDM kita bersertifikat. Kita harus hati-hati menjaga keutuhan NKRI ini, perhatikan kasus berikut. Selasa, 11 Agustus 2015 diresmikan PLTU Celukan Bawang Buleleng Bali tidak ada tenaga kerja Indonesia semua Cina. Memprihatinkan memang, bahkan semua seremonial berbahasa mandarin. Yang orang Indonesia Cuma Asisten Ekonomi Pembangunan (I Ketut Widja) dan Asisten I Setda Buleleng ((Ida Bagus Geriastika). Ini sejalan pernyataan Perdana Menteri Cina di FISIP UI 27 Mei 2015 yang akan mengirim 10 juta warga Cina ke Indonesia. MEA sendiri memungkinkan tenaga profesional dari negara ASEAN untuk bekerja secara bebas di Indonesia. Praktisi pendidikan tinggi Suyanto mengatakan, kesiapan menghadapi MEA tidak lepas dari peran guru yang profesional. Mereka merupakan pencetak sumber daya manusia berkualitas yang kelak akan menjadi pelaku di era MEA.
Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma pembelajaran, bahwa seorang guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dan mengobservasi dari berbagai sumber. Lebih lanjut dikatakan, peserta didik dididik tidak hanya mampu menyelesaikan masalah tapi juga merumuskan masalah. “Peserta didik dilatih untuk berpikir analitis bukan mekanistis untuk lebih siap,“ ungkap Suyanto pada Seminar Nasional Entrepreneurship dan Profesionalitas Guru di Era MEA di Auditorium UNY Kampus Wates, Sabtu (2/5). Entrepreneurship atau kewirausahaan, kata dia, merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara (Kuntadi, 2015).

Begitu sebaliknya, tenaga kerja Indonesia bisa bekerja di berbagai negara Asean. Masalahnya mampukah kita berkompetisi dengan lulusan dari negara Asean lainnya? Dalam kaitan ini juga berlaku bagi Guru BK atau Konselor lulusan Indonesia. Menurut Syamsu Yusuf (UPI), 25 Maret 2015 pada kuliah tamu di BK UM kebijakan MEA berimplikasi terhadap profesi bimbingan dan bimbingan dan konseling. Di antaranya yaitu munculnya permasalahan seperti persaingan memasuki dunia kerja semakin ketat, ada kecenderungan lunturnya nilai-nilai nasionalisme di kalangan masyarakat, kondisi kehidupan politik, hukum dan ekonomi dalam negeri yang tidak kondusif serta penguasaan kekayaan Negara oleh Negara asing. Dalam menghadapi persoalan ini maka strategi yang bisa ditempuh profesi bimbingan dan bimbingan dan konseling yaitu (1) pengokohan profesionalisme Konselor atau guru bimbingan dan konseling pada kompetensi pengetahuan, karakter/ kepribadian, keterampilan-termasuk core works skills; (2) pengokohan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya, berdaulat, bermartabat dan religious; dan (3) pengokohan kesadaran masyarakat, terutama para pejabat pemerintah terhadap empat pilar kebangsaan.

Dampak dari semua aktivitas global di atas, bagi pendidikan ialah bagaimana peserta didik ditumbuhkan nilai dan sikap bekerja sama, bersaing dengan sehat, cara bekerja yang efisien dan efektif, serta memiliki wawasan mengejar keunggulan karya. Konselor dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan nilal, sikap dan wawasan tersebut melalui pelayanan bimbingan pnibadi, sosial, belajar, dan karir.

2) Wawasan kemasyarakatan:
Remaja kita hidup dan berkembang dalam kondisi masyarakat yang ditandai adanya gejala kesenjangan sosial, gejala pergeseran nilai-nilai dan gejala krisis.
Gejala Kesenjangan Sosial: Dampak dan pembagian kesempatan dan hasil pembangunan bidang ekonomi yang tidak merata maka terjadi kesenjangan yang cukup lebar di antara golongan di masyarakat kita. Sebagian kecil rakyat yang memperoleh kesempatan dan hasil pembangunan ekonomi yang berlebihan, mereka dapat hidup serba kecukupan, sedangkan sebagian besar rakyat tidak memperoleh cukup kesempatan dan hasil pembangun-an ekonomi, pada umumnya mereka hidup dalam kondisi yang pas-pasan; bahkan banyak dari rakyat kita yang hidup dibawa garis kemiskinan. Sudah barang tentu gejala kesenjangan itu berpengaruh terhadap akses atau kesempatan remaja memperoleh pendidikan yang bermutu.

Gejala Pergeseran NiIai-Nilai: Di antara gejala pergeseran nilai-nilai yang menonjol yang ditampilkan oleh sebagian masyarakat dan yang berdampak luas pada perkembangan kejiwaan remaja sebagai berikut.
•Berkembangnya niIai-nilai hedonisme di sebagian kalangan masyarakat, yaitu kecenderungan orang mengagungkan diperolehnya rasa kenikmatan atau kesenangan fisik sesaat.
•Berkembangnya nilai-nilai konsumenisme yang salah, kecenderung-an orang yang berlebihan menggunakan produk baru industri tanpa mempertimbangkan urgensi kegunaanya.
•Ditumpanginya nilai-nilai spiritual atau sakral dengan nilal-nilal komersial.
•Terdesaknya nilai-nilai idealisme oleh nilai-nilai pragmatisme, yaitu kecenderungan orang menomorsatukan pada hasil yang dapat memberikan kemanfaatan langsung, jangka pendek dari pada kemulian jangka panjang.
•Terdesaknya penggunaan cara-cara yang benar untuk mencapai sesuatu tujuan oleh kecenderungan orang menggunakan cara-cara yang mudah, cepat, atau menempuh jalan pintas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Gejala Krisis: Pada saat ini, masyarakat kita sedang mengalami berbagai krisis, yakni krisis ekonomi, politik, moral dan hukum. Krisis itu dapat berpengaruh buruk pada kesejahteraan hidup, rasa keadilan, rasa aman bagi warga masyarakat, termasuk para remaja. Situasi krisis itu dapat menjadi situasi yang membingungkan, situasi yang tidak menentu bagi warga masyarakat. Remaja merespon gejala-gejala kesenjangan, pergeseran nilai-nitai dan gejala krisis dalam bentuk perasaan, pikiran dan tingkahlaku atau ketiganya bersama.

Menghilangkan gejala-gejala kesenjangan, pergeseran nilai-nilai dan gejala krisis bukan menjadi tugas langsung pendidikan (dalam hal ini BK) tetapi menjadi tugas bidang-bidang lain, misalnya bidang ekonomi, hukum, politik dan sebagainya. Pendidikan dalam hal ini BK, melalui pelayanan bimbingan pnbadi, sosial, belajar dan karir berusaha terjadinya perubahan oleh diri peserta didik sendiri terhadap perubahan perasaan, pikiran dan tlngkahlaku menjadi positif, sehingga dapat diharapkan para remaja membenkan respon terhadap gejala-gejala kesenjangan, pergeseran nilai-nilai dan krisis di masyarakat kita dapat Iebih wajar.

3) Wawasan kultural:
Menurut sejarahnya, bimbingan dan konseling bermula dari lingkungan pendidikan di sekolah Amerika Serikat. Bimbingan dan konseling diberikan oleh konselor kulit putih bagi para peserta didik berkulit putih kelas menengah. Konsep dan praktik bimbingan dan konseling di Amerika Serikat dibangun atas nilai-nilai
hidup bangsa Amerika kulit putih kelas menengah, misalnya nilai-nilai individualis, demokratis, rasional dan sebagainya. Timbul ah gerakan dalam bimbingan dan bimbingan dan konseling untuk memperhatikan nilai-nilai budaya konseli sehingga tldak lagi konselor memberi layanan bimbingan dan konseling bagi peserta didik atau mahasiswa keturunan etnis Asia dengan menggunakan konsep dan praktik bimbingan dan konseling berdasarkan nilai-nilai hidup bangsa Amerika Serikat kulit putih kelas menengah. Mulai saat itu muncul ah aliran baru bimbingan dan konseling di Amerika Serikat, yaltu bimbingan dan konseling berwawasan atau bercorak budaya.

Di Indonesia, kita hendaknya menerapkan konsep dan praktik bimbingan dan konseling Barat dengan menyesuaikan pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia misalnya nilai keseimbangan. Bimbingan dan konseling adalan bantuan peningkatan kemampuan konseli untuk membuat keputusan hidup yang penting, yaitu kemampuan untuk (a) memfungsikan secara proporsional unsur pikiran dengan penalaran sebagai pengarah dalam pengambilan keputusan, unsur perasaan dan kemauan sebagai pendorong, dan keyakinan (moral, agama) sebagai penentu keputusan, (b) menyeimbangkan pertimbangan nilai-nilai pribadi dengan nilai-nilai keluarga atau masyarakat. Dengan kata lain, bimbingan dan konseling adalah untuk membuat keputusan hidup, keputusan pendidikan, keputusan pekerjaan, semuanya menggunakan pertimbangan keserasian unsur-unsur psikologis dan kultural. Kita harus sangat memperhatikan unsur-unsur budaya yang majemuk di indonesia ini.

4) Wawasan psikologis:
Havighurst (1963) menyatakan bahwa anak dan remaja tumbuh dan berkembang dalam bidang-bidang perkembangan: fisik-seksual, psikis-sosial, afektif, kognitif, moral, ego dan vokasional. Ketujuh bidang perkembangan ini, kemudian dirumuskan menjadi tugas perkembangan, yaitu tugas yang timbul pada saat atau sekitar periode hidup tertentuindividu. Bila individu dapatmelaksanakan tugas perkembangan itu dengan berhasil, maka keberhasilan itu memberikan rasa bahagia dan memudahkan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas perkembangan berikutnya. Sebaliknya, bila anak atau remaja tidak dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan hasil baik, maka kegagalan itu menyebabkan rasa tidak bahagia dan tidak diterima oleh masyarakat. Akibatnya anak atau remaja itu mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas perkembangan berikutnya. Bimbingan dan bimbingan dan konseling membantu anak dan remaja dalam perkembangan tersebut. Gazda, Children, dan Brooks (1987) menyatakan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan berhasil, maka anak dan
remaja membutuhkan kecakapan-hidup, yaitu berupa tingkah Iaku untuk mengatasi tugas sesuai dengan tuntutan pada suatu periode hidup tertentu. Kecakapan hidup dikelompokkan: hubungan antar pribadi atau komunikasi, kebugaran fisik, memelihara kesehatan, perkembangan identitas, dan pemecahan masalahpengambilan keputusan.

Untuk membantu peserta didik berkembang optimal, Triyono (2014) mengikuti cara berpikir Vygotky dimana setiap diri manusia ada medan perkembangan proximal (ZPD) yang untuk memenuhinya dibutuhkan perancah (scaffolding). Dalam bangunan scaffolding gurulah diharapkan setiap peserta didik mampu berkembang optimal. Keyakinannya berbunyi: Pesertadidik yang cakapadalahyang menggunakan Meaning-Based Approach (MBA) dalam menyelesaikan tugas. Untuk itu diperlukan strategi yakni strategiataumodel pembelajaran yang secara eksplisit mampu menopang perkembangan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal/tugas. Salah satu strategi tersebut adalah strategiscaffolding dari Vygotsky yang dikembangkanolehWood, Bruner and Ross (1976) dan oleh Anghilery (2006).

Berbagai strategi postmodern perlu dikembangkan dalam bidang bimbingan dan bimbingan dan konseling. Sebagai contoh alih-alih ceramah dalam bimbingan klasikal, guru BK menerapkan strategi experiencial learning ala David Colb, misalnya. Atau untuk membangkitkan semangat belajar “menjadi” bagi peserta didik dikembangkan aspek regulasi dirinya (self regulation learning ). Bagaimana menjawab tantangan itu semua? Tidak bisa tidak, bimbingan dan bimbingan dan konseling harus melakukan perubahan paradigma dari orientasi pelayanan yang bersifat reaktif menuju suatu perubahan mendasar yakni proaktif mengenali potensi dan menyiapkan kondisi agar potensi tersebut berkembang. Sejalan dengan pandangan Gysbersdan Henderson (2006) yakni Guidance and counseling in the schools also continues to undergo reform, changing from position-services model to a comprehensive program firmly grounded in principles of human growth and development. Dalam hal ini, saya memaknai bimbingan dan bimbingan dan konseling merupakan program yang bersifat komprehensif dan berkesinambungan. Komprehensif karena menyangkut semua aspek kepribadian peserta didik, dan berkesinambungan karena program tersebut digagas merupakan mata rantai sambung menyambung dari pendidikan dasar menuju pendidikan menengah, bahkan dalam ide semula bermula dari taman-kanak-kanak dan juga di perguruan tinggi. Tantangan ini menjadi berat ketika kehidupan berbangsa dan bertanah air ini menyepakati diberlakukankannya program Masyarakat Ekonomi Asean, dimana produk dan Sumber Daya Manusia bermobilisasi dalam pasar bebas.

c. Tanggungjawab Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling

Henderson (dalam Rosjidan, 2007) menyatakan bahwa konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional yang berpraktik pada seting persekolahan mempunyai tanggung jawab kepada (1) peserta didik, (2) orang tua, (3) sejawat pendidik dan tenaga kependidikan, (4) sekolah dan masyarakat, (5) dii sendiri (penulis sendiri), (6) profesi,dansebagai orang Indonesia yang berketuhanan, ditambahkan (7) Tuhan Yang Maha Esa.

1) Tanggung jawab kepada peserta didik. Kewajiban etis utama konselor atau guru bimbingan dan konseling profesionaf berpusat kepada konseli. Setiap konseli memperoleh penghargaan dan penerimaan sebagai seorang pnibadi unik. Konselor diwajibkan menyediakan program untuk memajukan dan mengembangkan terpenuhinya kebutuhan peserta didik: pendidikan, karir, emosional, sosial dan pribadi. Konselor sekoiah menahan diri dan memaksakan keyakinan dan nilai-nilai pnibadi mereka terhadap konseli. Konselor menjaga kerahasiaan, yang berarti membeni jaminan kepada konselor bahwa apa yang telah dikomunikasikan dalam hubungan bimbingan dan konseling tidak akan keluar.Konselor memelihara dan melindungi catatan mengenai peserta didik sebagaimana ditetapkan dalam kode etik. Konselor menyimpan catatan mengenai bimbingan dan konseling sebagai tambahan bagi catatan komulatif. Catatan disimpan dalam fileter kunci di ruang konselor. Konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional melaksanakan standar dalam pemilihan, administrasi, interpretasi bahan dan hasil testing. Konselor menyadari bahwa ketrampilan testing memerlukan pelatihan khusus.

2) Tanggungjawab kepada orangtua.
Konselor profesional sekolah menghormati hak dan tanggung jawab orang tua bagi anak-anak mereka. Konselor berusaha membangun hubungan kerja sama dengan orang tua untuk meningkatkan perkembangan dan kesejahteraan konselor. Konselor bekerja dengan peka terhadap perbedaan kuftur dan sosial di antara para keluarga dan Orang tua diberikan penjelasan peran konselor atau guru bimbingan dan konseling sekolah yang menekankan sifat kerahasiaan bimbingan dan konseling. Konselor memberikan informasi yang tepat, komprehensif, dan refevan mengenai BK sesuai dengan Kode Etik, memperhatikan Kode Etik jika konselor membantu orang tua.

3) Tanggungjawab kepada sejawat pendidik dan tenaga kependidikan. Konselor atau guru bimbingan dan konseling menjalin hubungan profesional dan bekerja sama dengan para guru, staf administrasi dan pimpinan sekolah. Sejawat dipandang sebagai tenaga profesional yang kompeten dan dipenlakukan dengan penuh penghargaan, sopan dan jujur. Jika informasi penting untuk menolong konselor dibenkan, konselor memastikan bahwa informasi itu tepat objektif dan bermakna.


4) Tanggungjawab kepada sekolah dan masyarakat.
Konselor berpartisipasi dalam memelihara program pendidikan daii sesuatu yang mengganggu demi untuk kepentingan terbaik konsefi. Konselor membantu dalam mengembangkan kunikulum yang tepat, membantu meningkatkan proses belajar dan mengajar, serta membantu mengembangari sistem evaluasi program pendidikan di sekotah. Untuk mencapai keuntungan yang terbaik bagi konseli, konselor professional menjalin dan bekerja sama dengan pihak-pihak lain dalam masyarakat tanpa pengharapan untuk memperoleh imbalan.

5) Tanggungjawab kepada diri sendiri.
Konselor atau guru bimbingan dan konseling bekenja di dalam batas-batas kompetensi pribadi dan mengambil tanggung jawab atas tindakan-tindakan yang telah dilakukan. Konselor memelihara kompetensi profesional dan memperbaharui pengetahuan, serta menyadari bahwa proses pertumbuhan profesional berlangsung seumur hidup. Konselor juga menyadari bahwa nilai-nilai dan keyakinan pribadi mereka berpengaruh terhadap proses bimbingan dan konseling, hal ini harus dibarengi bahwa konselor harus memahami latar belakang budaya konseli yang mereka bimbingan dan konseling.

6) Tanggungjawab kepada profesi.
Para konselor atau guru bimbingan dan konseling profesional menerima kebijakan dan prosedur etis serta keputusan-keputusan yang relevan dari asosiasi profesi sesuai dengan kode etik. Konselor sekolah tidak menggunakan profesi profesionalnya guna memperoleh keuntungan pribadi dengan cara-cara yang tidak dapat dibenarkan, keuntungan seksual, dan keuntungan material lainnya. Konselor melakukan riset dan melaporkan hasilnya. Akhimya para konselor bergabung dalam asosiasi profesi dan memberikan sumbangan bagi perkembangan profesi.

7) Tanggungjawab kepada Tuhan Yang maha Esa.
Para konselor atau guru bimbingan dan konselingprofesional meyakini bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah termasuk ibadah, amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dikelak-kemudian, konselor atau guru bimbingan dan konseling harus mempertanggungjawabkan segala tindakan profesionalnya kepada Tuhan Yang Memberi Amanat. Konselor atau guru bimbingan dan konseling melaksanakan tugas professional dilandasi ketakutan dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.